Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sering terjadi di Indonesia. Selain dipandang dari sisi ilmiah, masyarakat Jawa sejak zaman dahulu memiliki penafsiran tersendiri terhadap peristiwa gempa bumi yang terekam dalam buku-buku primbon. Mari kita telusuri lebih dalam makna gempa bumi menurut kearifan lokal Jawa.
Primbon Jawa merupakan kitab warisan leluhur yang berisi berbagai macam ilmu titen atau ilmu pengamatan terhadap gejala alam dan kehidupan. Salah satu bahasan dalam primbon adalah tafsir mengenai peristiwa gempa bumi. Masyarakat Jawa meyakini bahwa gempa bumi membawa pesan tersembunyi dari Sang Pencipta.
Dalam bahasa Jawa, gempa bumi dikenal dengan istilah "lindu". Primbon mengaitkan makna gempa dengan waktu terjadinya, baik bulan maupun siang/malam. Penafsiran ini didasarkan pada pengamatan dan pengalaman hidup nenek moyang Jawa selama ratusan tahun.
Meskipun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, primbon tetap dianggap sebagai kearifan lokal yang patut dilestarikan. Bagi sebagian masyarakat, primbon menjadi pedoman untuk mawas diri dan introspeksi ketika terjadi bencana alam.
Tradisi menulis primbon di Jawa sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Salah satu primbon tertua yang masih ada adalah Kitab Primbon Betaljemur Adammakna karangan Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat dari Keraton Yogyakarta pada abad ke-18.
Pada masa selanjutnya, banyak cendekiawan dan budayawan Jawa yang ikut menulis dan mengembangkan primbon, termasuk Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar Keraton Surakarta pada abad ke-19. Primbon terus berkembang dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Di era modern, primbon masih dilestarikan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Beberapa primbon populer antara lain Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Primbon Jawa Serbaguna, dan Primbon Atassadhur Adammakna. Meski zaman berubah, minat masyarakat terhadap primbon masih cukup tinggi.
Dalam primbon Jawa, makna gempa bumi ditafsirkan berdasarkan bulan terjadinya menurut penanggalan Jawa. Berikut ini adalah beberapa contoh tafsirnya:
Penafsiran untuk bulan-bulan lainnya juga memiliki makna yang beragam, baik positif maupun negatif. Namun perlu diingat bahwa tafsir ini tidak bersifat mutlak dan lebih merupakan kearifan lokal warisan leluhur.
Selain bulan, primbon Jawa juga menafsirkan makna gempa berdasarkan waktu terjadinya, yaitu siang atau malam hari. Secara umum, gempa yang terjadi di siang hari cenderung ditafsirkan membawa pertanda kurang baik. Sementara gempa di malam hari lebih sering diartikan sebagai pertanda positif.
Beberapa contoh tafsir gempa berdasarkan waktu:
Namun perlu dicatat bahwa penafsiran ini tidak selalu konsisten untuk setiap bulan. Ada kalanya gempa malam hari juga ditafsirkan membawa pertanda kurang baik, tergantung bulan terjadinya.
Untuk membaca tafsir gempa dalam primbon Jawa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Penting untuk diingat bahwa primbon sebaiknya dibaca sebagai kearifan lokal, bukan sebagai pedoman mutlak. Tafsir primbon lebih tepat dijadikan bahan introspeksi diri dan masyarakat.
Meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, mempelajari primbon gempa tetap memiliki beberapa manfaat:
Namun perlu diingat untuk tetap mengutamakan pendekatan ilmiah dalam menghadapi bencana alam. Primbon sebaiknya dilihat sebagai warisan budaya, bukan pedoman utama.
Meski sama-sama membahas gempa bumi, terdapat perbedaan mendasar antara primbon Jawa dengan ilmu seismologi modern:
Meski berbeda, keduanya dapat berjalan beriringan sebagai kekayaan pengetahuan manusia. Primbon mewakili kearifan lokal, sementara seismologi mewakili kemajuan ilmu pengetahuan.
Penggunaan primbon untuk menafsirkan gempa bumi tidak lepas dari kontroversi. Beberapa kritik yang sering muncul antara lain:
Di sisi lain, pendukung primbon berargumen bahwa kitab ini merupakan warisan budaya yang patut dilestarikan. Mereka menekankan bahwa primbon sebaiknya dibaca sebagai kearifan lokal, bukan sebagai pedoman mutlak.
Di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, primbon gempa masih memiliki peminatnya sendiri. Beberapa fenomena terkait primbon gempa di era modern antara lain:
Meski tidak lagi menjadi acuan utama, primbon gempa tetap menjadi bagian dari khazanah budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Tantangannya adalah bagaimana memosisikan primbon secara proporsional di tengah kemajuan ilmu pengetahuan.
Buku primbon Jawa tentang gempa merupakan warisan kearifan lokal yang menarik untuk dipelajari. Meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, primbon mencerminkan cara pandang leluhur Jawa terhadap fenomena alam. Di era modern, primbon sebaiknya dilihat sebagai khazanah budaya, bukan sebagai pedoman utama menghadapi bencana. Yang terpenting adalah tetap mengutamakan pendekatan ilmiah dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana alam.