Review! Film 'CANDYMAN', Trauma Masa Lalu atau Legenda Berbau Isu Rasisme?


Film Internasional | Rabu, 27 Oktober 2021 14:15
Editor : Editor Kapanlagi.com

Kapanlagi.com - Film dibuka ala rumah produksi Universal Pictures. Beda dengan yang lainnya, kali ini film tak menggunakan instrumen musik ala Universal, melainkan lagu The Candyman yang dinyanyikan oleh Sammy Davis, JR. Diawali dengan kisah trauma seorang anak laki-laki di perkampungan kumuh Chicago yang diteror oleh sosok Candyman yang suka membagikan permen yang berisi silet. Di film ini, CANDYMAN seolah menawarkan kisah tentang penderitaan orang kulit hitam.

Disutradarai oleh Nia DaCosta, film ini merupakan sekuel dari film klasik CANDYMAN pada tahun 1992. Diproduksi dan ditulis bersama oleh Win Rosenfeld dan Jordan Peele. Jordan Peele sendiri merupakan sutradara di balik film GET OUT (2017) dan US (2019) yang sering menyisipkan isu rasisme pada film horornya. Tak terelakkan, film ini mengikuti jejak langkah Jordan Peele yang kerap menyatukan kisah horor dengan rasialisme. Tak ingin disebut mirip dan tak imaginatif, CANDYMAN memilih untuk mengangkat kisah trauma dan legenda masyarakat.

Di awal pembukaan, kita mungkin akan sedikit dibuat bingung dengan tulisan yang terbalik dan cakrawala gedung bertingkat Chicago yang juga dibidik miring. Ditambah metafora dengungan suara lebah dan pemandangan langit yang mendung. Seperti film horor kebanyakan yang selalu menyisipkan suasana gloomy untuk membawa penonton larut dalam kisah tokoh yang problematik ketika diganggu oleh sosok misterius dan juga metafora hadirnya hewan yang merepresentasikan legenda mistis bahwa hewan tertentu punya daya yang mengundang hal-hal astral. Dalam CANDYMAN, hewan yang menjadi tanda munculnya Candyman adalah lebah.

1 dari 2 halaman

1. Plot dan Sinopsis

Candyman (Credit: IMDb)

Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II), tokoh utama yang berperan sebagai seorang seniman tinggal bersama sang kekasih, Brianna (Teyonah Parris), seorang direktur galeri seni. Anthony merupakan seniman yang berjaya kemudian harus kehilangan semangatnya karna tak juga dapat menemukan ide agar dapat memamerkan karyanya di galeri seni. Anthony dituntut untuk membuat lukisan baru yang akan membuatnya mendapatkan lagi kepopulerannya.

Meski diawali dengan percakapan sepasang kekasih yang berakting dengan sangat natural, adegan seperempat awal film ini terasa seperti diulang dan seolah berputar di kehidupan stereotip dua orang yang dapat dikatakan hampir sempurna sebagai pasangan yang ideal. Sambil menunggu kengerian film yang muncul, penonton dibuat larut dalam seluk beluk kehidupan dan mencatat sisi tertekan dari seorang Anthony yang putus asa.

Plot film kemudian mulai menanjak ketika Anthony penasaran dengan sosok candyman. Ia seketika mendapat ide gila untuk melukis Candyman. Penggambaran sosok candyman kemudian dibuat menjadi klise di pertengahan film ketika Anthony mencari keberadaan sosok ini. Horor klise CANDYMAN (1992) lalu digambarkan kembali dalam animasi legenda. Sinematografer film ini, John Guleserian, seolah ingin menunjukan sisi unik dari DaCosta dan Jordan Peele yang alegoris dalam menyampaikan pesan di film-filmnya.

Adegan berlanjut ke puncak kengerian ketika seorang teman Brianna memanggil nama Candyman di depan cermin bersama kekasihnya hasil dari ketidakpercayaan keduanya pada sosok yang diceritakan oleh Anthony ini. Film ini seketika berubah menjadi horor gore ketika adegan Candyman membantai sepasang kekasih itu dengan tangan pirate hook-nya. Tak ketinggalan, lebah yang juga menggeranyangi mayat keduanya ketika esok hari ditemukan oleh Brianna tergeletak mengenaskan di galeri seninya.

Sosok Candyman ini kemudian mulai menghantui pikiran satu persatu pemain, termasuk Anthony sendiri. Untuk membuat alur yang bertahap mencekam, DaCosta merepresentasikan hal itu di tangan Anthony yang disengat lebah. Makin hari, tangannya makin membusuk dan membuat perubahan pada kulitnya yang mirip dengan sarang lebah. Untuk penderita tripofobia, ini tentu film yang sangat menjiikan dan penuh adegan triggering.

 

 

2 dari 3 halaman

2. Legenda atau Isu Rasisme?

Candyman (Credit: IMDb)

Ketika Anthony mendengar kisah penuh asal-usul Candyman, kisah film ini kemudian berubah tak lagi begitu mencekam dan mengutuk kekejian Candyman. Kembali pada kisah anak laki-laki (Billy) di awal film yang diberi permen oleh Candyman. Legenda yang mengatakan Candyman adalah sosok pria kulit hitam yang mengerikan dan suka membagikan permen berisi silet kepada anak-anak kemudian dibantah oleh anak laki-laki (Billy) tersebut ketika ia sudah dewasa.

Bukan trauma ketakutan menghadapi pertemuannya dengan Candyman, Billy mengaku trauma tersebut datang dari reaksi polisi kulit putih yang mendengar jeritannya lalu memukuli Candyman hingga meninggal. Permen berisi silet pun usut punya usut hanyalah isapan jempol belaka alias fitnah dari orang-orang yang mendiskriminasi Candyman. Jauh dari kisahnya yang dianggap sebagai hantu legenda yang suka membantai tanpa alasan, alih-alih Candyman muncul sebagai hantu yang mewakili pria kulit hitam yang menjadi korban kebrutalan kulit putih atau polisi kulit putih dari masa lalu.

Siapapun orang kulit putih yang memanggil namanya sebagai permainan dan alasan untuk memuaskan diri atas rasa penasarannya, akan ia datangi dengan balasan kematian dan adegan berdarah oleh tangan pirate hook-nya. Kematian orang kulit putih usai memanggil Candyman di film ini pada awalnya dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan sebagai permainan yang terlarang sebab legenda tersebut dianggap nyata. Namun, Nia DaCosta kemudian membalikan metafora film ini sebagai hukuman yang tertunda kisah rasialisme di dunia modern dari CANDYMAN (1992) ke CANDYMAN (2021).

Paruh kedua film ini, kita akan dibuat bertanya-tanya. Candyman adalah sosok yang menjadi korban kebrutalan. Korban dendam Candyman adalah orang-orang kulit putih. Namun, apakah Candyman adalah sosok yang semata-mata sebagai representasi dari rasa sakit, penderitaan orang kulit hitam, dan simbol kebencian selama beradab-abad? Dan apakah hanya orang kulit putih saja yang menjadi satu-satunya orang yang dapat menimbulkan penderitaan orang kulit hitam dalam konteks 'rasialisme' tersebut?.

Pertanyaan-pertanyan tersebut didasari oleh trauma masa lalu pribadi Billy dan juga Candyman atas rasialisme yang mereka alami. Meski zaman telah berubah ke dunia modern, plot film ini makin diperkuat oleh kisah rasis yang juga dialami oleh Anthony, Brianna, dan juga Billy tentang rasa sakit dan teror yang ketiganya alami. Memanggil Candyman seolah memicu isu rasis yang tak juga kunjung menemukan titik akhirnya. Seolah rasisme tak pernah ada habisnya. Nia DaCosta dan Jordan Peele mencoba merepresentasikan isu sosial itu ke dalam horor rasisme penuh adegan gore kepada orang kulit putih. Penuh kritikan dan juga perdebatan, film keduanya berhasil mengangkat kesadaran rasialisme.

Artikel ini ditulis oleh: Aditia Lestari

 

 

(kpl/mag)