
Meskipun Helios tidak terlalu terkenal di Yunani Klasik, pemujaannya tumbuh lebih menonjol di akhir zaman berkat identifikasinya dengan beberapa dewa matahari utama pada periode Romawi, terutama Apollo dan Sol. Kaisar Romawi, Julian, menjadikan Helios sebagai pusat keilahian semasa kebangkitannya yang singkat dalam praktik keagamaan tradisional Romawi pada abad ke-4 Masehi. Helios menonjol dalam beberapa karya mitologi, puisi, dan sastra Yunani, di mana ia sering digambarkan sebagai putra Titan Hiperion dan Theia serta saudara dari dewi Selene (Bulan) dan Eos (Fajar).
Peran Helios yang paling menonjol dalam mitologi Yunani adalah kisah tentang putranya yang fana, Phaethon. Phaethon meminta bantuan ayahnya dan Helios setuju. Phaethon meminta hak istimewa untuk mengendarai kereta empat kudanya yang berapi-api melintasi langit selama satu hari. Meskipun Helios memperingatkan putranya akan bahaya perjalanan tersebut, Phaethon bersikeras sehingga Helios terpaksa memperbolehkannya. Namun, perjalanan itu berakhir tragis dan Zeus menghentikannya dengan sambaran petir. Selain mitos ini, Helios kadang-kadang muncul dalam mitos karakter lain, menyaksikan sumpah atau berinteraksi dengan dewa dan manusia lainnya.
Dalam epos Homer, peran Helios yang paling menonjol adalah ketika ia murka dengan orang-orang Odysseus karena membunuh dan memakan sapi suci miliknya. Helios meminta Zeus untuk menghukum mereka, dan Zeus mengirimkan sambaran petirnya pada kapal mereka sehingga semuanya tewas, kecuali Odysseus sendiri yang tidak ikut serta melukai sapi Helios. Karena posisinya sebagai matahari, Helios dipercaya sebagai saksi yang melihat segalanya dan sering dipanggil dalam sumpah. Dia juga memainkan peran penting dalam sihir dan mantra kuno. Dalam seni, Helios biasanya digambarkan sebagai seorang pemuda berjanggut dalam balutan awan yang memegang cambuk dan mengendarai quadriganya, ditemani oleh berbagai dewa surgawi lainnya seperti Selene, Eos, atau bintang-bintang.