Kapanlagi.com - Melalui akun Instagram pribadinya, Arie Kriting menyuarakan pendapatnya terkait ditunjuknya Nagita Slavina Sebagai Duta PON XX Papua. Ia menganggap bahwa hal ini mendorong terjadinya Cultural Appropriation atau dapat diartikan sebagai sebuah usaha menggunakan atribut masyarakat minoritas oleh kelompok mayoritas.
"Sebenarnya sudah sejak awal saya merasa ada yang janggal dengan hal ini, tetapi saya menunggu tanggapan dari saudara-saudari asli Papua terkait dengan hal ini. Penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua ini memang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya Cultural Appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua. Tapi kita juga menyadari bahwa kapabilitas Kak Nagita dalam membawa misi sosialisasi untuk PON XX Papua ini sangat dibutuhkan." tulis Arie Kriting.
"Solusi dari saya, Duta PON XX Papua harus tetap perempuan Papua. Angkat lagi salah satu sosok perempuan Papua, @mikhelia atau @nereputri atau siapa yang dirasa memadai. Tokoh Perempuan Papua ini bisa mendampingi kaka Boaz Solossa sebagai Duta PON XX Papua. Kakak Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bisa diposisikan sebagai sahabat Duta PON XX Papua karena jelas, kekuatannya untuk mendorong sosialisasi PON XX Papua ini sangat dibutuhkan. Menurut saya dengan kehadiran sosok Perempuan Papua sebagai Duta PON XX Papua, akan menghindarkan terjadinya Cultural Appropriation dan menjadi sinyal baik bagi pengakuan kita atas keberagaman Indonesia.
"Pada akhirnya nanti kesuksesan PON Papua tidak hanya tercapai secara pelaksanaan event, tetapi juga sukses menjadi perekat kesatuan bangsa. Mari kita tunjukkan dan banggakan keberagaman kita sebagai Bangsa Indonesia. Salam sayang untuk semua"
"PS : Memang ada info kalau Raffi dan Nagita menjadi icon PON Papua, bukan Duta. Tapi isunya adalah Cultural Appropriation. Pada akhirnya yang disorot media akan seperti ini. Perempuan Papua, tidak di-representasikan dengan baik. Makanya, mending Sahabat Duta saja, biar tidak tumpang tindih," tutup Arie Kriting.
(kpl/ums)
Editor: Umar Sjadjaah