Fenomena Beragam Jalur Popularitas di Indonesia dari Masa ke Masa
KapanLagi.com
Menjadi populer di Indonesia bukan hanya tentang bakat, tapi juga tentang berada di tempat dan media yang tepat. Dulu, untuk jadi artis, seseorang harus meniti jalan panjang lewat panggung dan studio. Kini, cukup satu video viral, nama seseorang bisa melesat jadi sorotan nasional.
Dari era suara di radio hingga video pendek di TikTok, masyarakat Indonesia telah menyaksikan lahirnya banyak 'bintang zaman' yang diidolakan karena karakter, talenta, atau sekadar momen unik. Ada yang tenar hingga berpuluh tahun kemudian, ada pula yang populer sejenak dan kemudian tenggelam hanya dalam waktu semalam.
Era 1970-an: Panggung Hiburan dan Musik Live. Pada era ini, popularitas sangat bergantung pada panggung pertunjukan langsung dan liputan media cetak. Penyanyi seperti Koes Plus, Benyamin Sueb, dan Titiek Puspa membangun nama melalui konser, panggung musik keliling, dan siaran langsung di TVRI. Tak hanya musik, pelawak seperti Warkop DKI mulai dikenal lewat pertunjukan live dan rekaman radio.
Majalah dan surat kabar memegang peranan penting dalam membentuk opini publik tentang artis. Belum ada media sosial, jadi reputasi dibangun dari mulut ke mulut dan penampilan langsung di depan publik. Popularitas di era ini mengandalkan ketekunan, jaringan produser, dan kehadiran fisik di panggung hiburan.
Era 1980-an: Kejayaan Radio dan Bintang Suara. Pada era ini radio menjadi medium utama hiburan. Penyiar radio seperti Ebet Kadarusman dan Arie Subiakto menjadi idola masyarakat meski wajah mereka tak dikenal luas. Lagu-lagu dari Broery Marantika, Hetty Koes Endang, hingga Iwan Fals menyentuh jutaan pendengar lewat gelombang udara.
Karakter suara, gaya berbicara, dan seleksi musik menjadi penentu popularitas. Orang mengenal penyanyi atau penyiar bukan dari visual, tapi dari suara dan isi pesan. Komunitas pendengar fanatik terbentuk secara organik dari kebiasaan mendengarkan bersama keluarga. Radio menjadi pilihan utama para musisi untuk menunjukkan karya mereka, karena akses ke stasiun televisi masih sangat terbatas. Pun dengan aktor dan aktris yang populer lewat serial sandiwara radio seperti Tutur Tinular yang sangat populer pada zamannya.
Era 1990-an: Majalah Remaja dan Sinetron Nasional. Pada era ini, televisi swasta mulai tumbuh dan berkembang pesat. Dengan tumbuhnya televisi swasta dan majalah remaja, selebritas baru lahir dari dunia visual. Majalah seperti Aneka Yess!, GADIS, dan Kawanku membuka peluang bagi remaja tampil sebagai cover boy/girl, lalu merambah dunia akting dan modeling.
Sinetron seperti Si Doel Anak Sekolahan, Tersanjung, dan Keluarga Cemara menciptakan bintang muda seperti Desy Ratnasari, Paramitha Rusady, dan Primus Yustisio. Popularitas saat itu dibentuk oleh kecocokan visual, kemampuan akting, dan eksposur media massa. Era ini juga menandai awal industri infotainment, di mana kehidupan pribadi artis menjadi bahan konsumsi publik.
Era 2000-an: Ajang Pencarian Bakat dan Televisi. Tahun 2000-an adalah era keemasan televisi nasional. Program seperti Indonesian Idol, AFI, KDI, dan D Academy membuka jalur baru menuju ketenaran: kompetisi terbuka yang disiarkan secara nasional.
Artis seperti Delon, Judika, Lesti Kejora, dan Mawar AFI muncul dari program-program ini. Penonton menjadi bagian dari proses memilih bintang, menciptakan keterikatan emosional dengan kontestan.
Selain itu, infotainment seperti Insert dan Kabar-Kabari menjadikan artis semakin dikenal lewat sorotan kehidupan pribadinya. TV menjadi pusat selebritas dan konsumsi budaya populer.
Era 2010-an: Media Sosial dan Content Creator. Internet mengubah segalanya. Platform seperti YouTube, Instagram, dan Twitter memungkinkan siapa pun menjadi bintang tanpa harus tampil di TV. Raditya Dika, yang awalnya blogger dan penulis buku, menjelma jadi YouTuber dengan jutaan pengikut. Kemudian muncul nama-nama seperti Ria Ricis, Atta Halilintar, dan banyak nama lainnya yang sukses meniti popularitas lewat media digital.
Jalur ketenaran berubah menjadi lebih demokratis dan independen. Tak perlu audisi, cukup konten kreatif yang konsisten dan bisa menjangkau audiens. Bahkan endorsement dan penghasilan pun bisa diperoleh langsung dari media sosial. Pada era ini, seseorang tidak harus muncul di televisi untuk menjadi bintang populer. Cukup dengan channel YouTube dan media sosial, mereka merengkuh jutaan penggemar dari seluruh dunia.
Era 2020-an: TikTok, Viralitas, dan Artis Internet. Platform seperti TikTok dan Instagram Reels mempercepat proses viralitas seseorang. Meski sama-sama berasal dari media sosial, namun popularitas kini bisa diraih dalam semalam. Tak lagi butuh bakat teknis yang mendalam, cukup momen yang unik, lucu, atau menyentuh emosi netizen.
Contoh mencolok adalah: Fajar Sadboy, yang terkenal hanya dari video curhat patah hati. Alif Cepmek, yang mencuri perhatian karena dandanan dan gaya bicara khas. Lalu ada Bunda Corla, yang viral karena gaya hidup blak-blakan dan aksi live dari Jerman. Popularitas di era ini sangat cepat, tapi juga mudah redup. Momen viral bisa jadi batu loncatan atau sekadar kilas balik dalam tren internet.
Beberapa ada yang sukses bertahan dan merambah ke dunia akting dengan pujian. Namun tak sedikit yang hanya populer dalam semalam, kemudian esoknya sudah dilupakan seperti Bunda Dor Dor yang baru-baru ini viral, tetapi kini namanya sudah menghilang.
Pasca-Pandemi: Kolaborasi Lintas Media dan Relevansi yang Terus Diuji. Pandemi COVID-19 mempercepat pergeseran konsumsi media ke digital. Banyak artis lama masuk ke TikTok dan YouTube untuk mempertahankan eksistensinya. Di sisi lain, content creator baru mulai tampil di TV dan film.
Contoh: Mawar AFI kembali dikenal lewat TikTok. Kemudian Sinta Keong Racun yang kembali populer di media sosial, baik Instagram maupun TikTok dengan konten-konten lawas dan juga produksi baru yang membuat namanya kembali dikenal. Sinta kini bahkan memutuskan kembali tinggal di Indonesia dan menjadi konten kreator sepenuhnya.
Tantangan utama hari ini bagi semua konten kreator adalah mempertahankan relevansi dan membangun branding personal yang kuat dan fleksibel di berbagai kanal. Jika tidak mampu bertahan, maka akan mudah dilupakan oleh netizen yang selalu menuntut perubahan cepat dari waktu ke waktu.