Kualitas Visual Film 'MERAH PUTIH: ONE FOR ALL' Disebut Seperti Animasi 1980-an
© KapanLagi.com/Fikri Alfi Rosyadi
Kualitas visual menjadi salah satu elemen krusial dalam sebuah film animasi, namun MERAH PUTIH: ONE FOR ALL yang baru saja rilis tampaknya menyajikan sebuah anomali. Sekelompok penonton yang menyaksikannya di XXI Kemang Village pada Kamis (14/8/2025) memberikan ulasan pedas terkait aspek grafis film tersebut, yang dianggap jauh dari standar masa kini.
Ketika ditanya secara spesifik mengenai kualitas visualnya, Rindra Danatara, salah satu penonton, memberikan jawaban yang mengejutkan. Ia menyebut visual film ini seolah mundur jauh ke belakang, mengingatkannya pada kualitas animasi puluhan tahun silam. "Waduh, waduh ini untuk menyambut Indonesia 80 tahun kan, ini animasi yang, tapi ini animasi 1980. Iya, 80-an itu 1980," katanya.
Billy, rekannya, menimpali dengan candaan yang semakin mempertegas kritik tersebut. Menurutnya, label "80" dalam perayaan kemerdekaan Indonesia seolah merujuk pada era 1980-an dalam konteks visual film ini. "Merayakan 80 tahun 1980 maksudnya," celetuk Billy.
Baca berita lain tentang MERAH PUTIH: ONE FOR ALL di Liputan6.com, yuk! Kalau bukan sekarang, KapanLagi?
Para penonton ini juga menyoroti detail teknis yang terasa sangat mentah dan belum selesai, seperti proses rendering yang tidak sempurna. Menurut mereka, banyak elemen visual yang masih terlihat kasar dan belum final.
"Banyak banget render kayak rambut juga nyatu," kata Rindra, yang langsung disambung oleh Andre, "Loading, loading. Masih ada yang render," jelasnya.
Ketika diminta membandingkannya dengan film animasi lokal lain yang belum lama ini sukses, JUMBO, mereka serempak menolak. Menurut Rindra, kedua film ini berada di spektrum yang sama sekali berbeda, sehingga tidak adil untuk diperbandingkan.
"Enggak bisa, enggak bisa. Udah saya bilang tadi, kalau Jumbo animasi, ini animisme. Beda, beda, beda. Ini kan bukan apple to apple, ini bagaikan membandingkan apel dengan gedung pencakar langit. Jadi udah jauh banget," paparnya.
Billy bahkan membawa perbandingan ini ke ranah yang lebih filosofis, menyebut jika JUMBO menawarkan pengalaman menonton, maka film ini menyajikan pengalaman spiritual. Ia merasa pengalaman menonton film ini justru membuatnya lebih dekat dengan Tuhan.
"Kalau Jumbo itu pengalaman menonton, ini pengalaman spiritual. Makin mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa," ujar Billy.
Karena keunikan dan kualitasnya yang sulit diukur dengan standar sinematik pada umumnya, Rindra mengaku tidak bisa memberikan rating. Menurutnya, tidak ada aspek teknis yang bisa dinilai dari film tersebut.
"Enggak bisa. 6,7 miliar. Waduh susah ya, susah, susah. Alasan kenapa gua enggak bisa menilai karena tidak ada aspek yang bisa dinilai. Susah kita menilai keimanan kan enggak bisa," tutupnya.