Cara Daftar Sertifikat Halal: Panduan Lengkap untuk Pelaku Usaha

Cara Daftar Sertifikat Halal: Panduan Lengkap untuk Pelaku Usaha
cara daftar sertifikat halal (credit:Image by AI)

Kapanlagi.com - Sertifikasi halal kini menjadi kebutuhan wajib bagi pelaku usaha di Indonesia, terutama setelah pemerintah menerapkan kewajiban sertifikat halal untuk produk makanan, minuman, dan jasa penyembelihan. Cara daftar sertifikat halal sebenarnya cukup mudah dan dapat dilakukan secara online melalui sistem SIHALAL.

Proses pendaftaran sertifikat halal telah disederhanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk memudahkan pelaku usaha. Terdapat dua skema sertifikasi yang tersedia, yaitu reguler dan self declare, dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis untuk usaha mikro dan kecil.

Menurut kemenkopukm.go.id, kepemilikan sertifikat halal tidak hanya memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga membuka peluang pasar yang lebih luas bagi produk UMKM. Dengan memahami cara daftar sertifikat halal yang tepat, pelaku usaha dapat meningkatkan daya saing produknya di pasar domestik maupun global.

1. Pengertian dan Pentingnya Sertifikasi Halal

Ini dia pengertian tentang sertifikasi halal (credit:Image by AI)

Sertifikasi halal adalah proses pemeriksaan dan penetapan kehalalan suatu produk yang dilakukan oleh lembaga berwenang untuk memberikan jaminan kepada konsumen Muslim. Sertifikat halal bukan sekadar label, melainkan jaminan bahwa produk tersebut aman, berkualitas, dan sesuai dengan syariat Islam dalam seluruh proses produksinya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pemerintah telah mewajibkan sertifikasi halal untuk tiga kategori produk utama: makanan dan minuman, jasa dan hasil penyembelihan, serta bahan tambahan pangan dan penolong untuk produk makanan dan minuman. Kewajiban ini mulai berlaku efektif sejak 17 Oktober 2024.

Kepemilikan sertifikat halal memberikan berbagai keuntungan strategis bagi pelaku usaha. Selain meningkatkan kepercayaan konsumen, sertifikat halal juga membuka akses ke pasar modern dan peluang ekspor ke negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Menurut bpjph.halal.go.id, sertifikasi halal menjadi nilai tambah yang membuat produk semakin mampu bersaing di pasaran, termasuk dengan produk halal dari luar negeri.

Dampak ekonomi dari sertifikasi halal juga sangat signifikan, mengingat pasar halal global mencapai nilai lebih dari USD 3 triliun. Dengan memiliki sertifikat halal, pelaku usaha tidak hanya menargetkan pasar domestik, tetapi juga dapat memanfaatkan peluang besar di pasar internasional yang terus berkembang pesat.

2. Jenis-Jenis Skema Sertifikasi Halal

Jenis skema sertifikasi (c) Ilustrasi AI

Sistem sertifikasi halal di Indonesia menyediakan dua skema utama yang dapat dipilih pelaku usaha sesuai dengan karakteristik dan skala usahanya. Pemahaman yang tepat mengenai kedua skema ini akan membantu pelaku usaha dalam menentukan jalur sertifikasi yang paling sesuai dengan kondisi bisnisnya.

Skema pertama adalah sertifikasi halal reguler yang diperuntukkan bagi semua jenis pelaku usaha, mulai dari mikro hingga besar, dengan produk berupa barang maupun jasa. Dalam skema ini, proses pemeriksaan dilakukan oleh auditor halal yang tergabung dalam Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan penetapan kehalalan dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI serta Komite Fatwa Produk Halal.

Skema kedua adalah sertifikasi halal self declare atau pernyataan pelaku usaha yang khusus diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro dan kecil dengan produk barang. Menurut indonesia.go.id, skema ini memberikan afirmasi khusus bagi UMK melalui pendampingan dengan edukasi, bimbingan, dan fasilitasi agar mereka dapat lebih mudah mendapatkan sertifikat halal.

Perbedaan mendasar antara kedua skema terletak pada proses verifikasi dan biaya yang dikenakan. Skema self declare menggunakan Pendamping Proses Produk Halal (PPH) sebagai verifikator dan tidak dikenakan biaya, sedangkan skema reguler melibatkan LPH dengan biaya yang bervariasi tergantung skala usaha. Kedua skema ini sama-sama menghasilkan sertifikat halal yang sah dan diakui secara resmi oleh pemerintah.

3. Persyaratan dan Dokumen yang Diperlukan

Dokumen yang harus disiapkan (credit:Image by AI)

  1. Nomor Induk Berusaha (NIB) - Dokumen wajib yang harus dimiliki sebelum mengajukan sertifikasi halal. Jika belum memiliki, pelaku usaha harus mendaftar terlebih dahulu melalui OSS di www.oss.go.id.
  2. Surat Permohonan - Surat resmi yang menyatakan permohonan sertifikasi halal untuk produk yang akan disertifikasi.
  3. Dokumen Penyelia Halal - Khusus untuk perusahaan, harus memiliki penyelia halal yang telah tersertifikat. Bagi UMK, persyaratan ini dapat disesuaikan dengan skala usaha.
  4. Daftar Produk dan Bahan - Dokumentasi lengkap mengenai produk yang akan disertifikasi beserta seluruh bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.
  5. Proses Pengolahan Produk - Penjelasan detail mengenai tahapan produksi dari bahan mentah hingga produk jadi, termasuk peralatan yang digunakan.
  6. Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) - Dokumen yang menjelaskan sistem manajemen halal yang diterapkan dalam proses produksi.
  7. Ikrar Pernyataan Halal - Khusus untuk skema self declare, pelaku usaha harus membuat ikrar pernyataan halal yang menjadi dasar sertifikasi.

Menurut lph.usk.ac.id, pelaku usaha juga perlu menyiapkan data profil perusahaan, data penanggung jawab, aspek legal seperti NPWP, data pabrik, dan informasi outlet jika ada. Kelengkapan dokumen ini sangat penting untuk memperlancar proses verifikasi dan meminimalkan kemungkinan revisi dokumen.

Untuk usaha yang menggunakan bahan impor, diperlukan dokumentasi tambahan berupa sertifikat halal dari negara asal atau surat keterangan halal dari supplier. Semua dokumen harus dalam kondisi valid dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memastikan proses sertifikasi berjalan lancar.

4. Langkah-Langkah Cara Daftar Sertifikat Halal Online

Langkah dan cara pendaftaran (c) Ilustrasi AI

  1. Akses Website SIHALAL - Buka laman resmi ptsp.halal.go.id dan pilih "Create an Account" untuk membuat akun baru. Pilih "Type of User" sebagai "Pelaku Usaha" dan lengkapi data registrasi dengan nama, email, dan password.
  2. Login dan Lengkapi Profil - Setelah akun berhasil dibuat, login menggunakan username dan password yang telah dibuat. Lengkapi profil perusahaan dengan data yang akurat dan sesuai dengan dokumen legal yang dimiliki.
  3. Pilih Skema Sertifikasi - Tentukan skema sertifikasi yang sesuai dengan karakteristik usaha. Pilih skema self declare untuk UMK dengan produk sederhana, atau skema reguler untuk usaha yang memerlukan pemeriksaan mendalam.
  4. Upload Dokumen Persyaratan - Unggah semua dokumen yang telah disiapkan sesuai dengan checklist yang tersedia di sistem. Pastikan semua file dalam format yang sesuai dan dapat dibaca dengan jelas.
  5. Isi Data Produk - Masukkan informasi detail mengenai produk yang akan disertifikasi, termasuk komposisi bahan, proses produksi, dan informasi kemasan.
  6. Pilih LPH atau PPH - Untuk skema reguler, pilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang tersedia sesuai lokasi. Untuk skema self declare, pilih Pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang terdaftar di wilayah usaha.
  7. Submit Permohonan - Setelah semua data lengkap, submit permohonan dan tunggu verifikasi dari BPJPH. Sistem akan memberikan nomor registrasi yang dapat digunakan untuk tracking status permohonan.

Menurut bpjph.halal.go.id, pelaku usaha dapat mengakses layanan sertifikasi halal melalui aplikasi PUSAKA Kemenag yang dapat diunduh dari Playstore atau Appstore. Aplikasi ini merupakan bagian dari program transformasi digital Kemenag yang bertujuan memudahkan masyarakat mendapatkan layanan sertifikasi halal.

Proses pendaftaran dapat dilakukan kapan saja dan dari mana saja karena sistem beroperasi 24 jam online. Pelaku usaha tidak perlu lagi membawa berkas fisik ke kantor BPJPH, cukup melakukan seluruh proses secara digital melalui platform yang telah disediakan.

5. Proses Verifikasi dan Pemeriksaan Halal

Proses verifikasi dan kehalalan (c) Ilustrasi AI

Setelah permohonan disubmit, BPJPH akan melakukan verifikasi dokumen untuk memastikan kelengkapan dan keabsahan data yang diajukan. Proses ini biasanya memakan waktu beberapa hari kerja, tergantung pada kelengkapan dokumen dan volume permohonan yang sedang diproses.

Untuk skema reguler, setelah verifikasi dokumen selesai, LPH akan menghitung dan menginput biaya pemeriksaan ke dalam sistem SIHALAL. BPJPH kemudian akan menerbitkan tagihan pembayaran yang harus diselesaikan oleh pelaku usaha. Setelah pembayaran diverifikasi, BPJPH akan menerbitkan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) sebagai tanda bahwa permohonan telah diterima secara resmi.

Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh auditor halal dari LPH. Tim auditor akan melakukan kunjungan ke lokasi produksi untuk memverifikasi kesesuaian antara dokumen yang diajukan dengan kondisi riil di lapangan. Pemeriksaan meliputi audit bahan baku, proses produksi, fasilitas produksi, dan sistem manajemen halal yang diterapkan.

Untuk skema self declare, proses verifikasi dilakukan oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang akan melakukan kunjungan lapangan untuk pendampingan dan verifikasi kehalalan produk. Hasil pendampingan kemudian akan diverifikasi dan divalidasi oleh BPJPH sebelum dilanjutkan ke tahap penetapan fatwa. Menurut bpjph.halal.go.id, skema ini memberikan pendampingan yang lebih intensif untuk membantu UMK memahami dan menerapkan sistem jaminan halal dengan benar.

6. Biaya dan Masa Berlaku Sertifikat Halal

Biaya dan masa berlaku (c) Ilustrasi AI

Struktur biaya sertifikasi halal telah ditetapkan berdasarkan skala usaha dan skema sertifikasi yang dipilih. Untuk skema self declare yang diperuntukkan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK), biaya sertifikasi adalah Rp0 atau gratis. Biaya pendaftaran dan penetapan kehalalan produk sebesar Rp300.000 akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Untuk skema reguler, struktur biaya bervariasi berdasarkan skala usaha. Usaha Mikro dan Kecil dikenakan biaya Rp300.000 untuk pendaftaran dan penetapan kehalalan produk, ditambah Rp350.000 untuk biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH. Usaha Menengah dikenakan biaya antara Rp5.000.000 hingga Rp21.125.000, sedangkan Usaha Besar dikenakan biaya antara Rp12.500.000 hingga Rp21.125.000.

Biaya tersebut belum termasuk biaya uji laboratorium dan akomodasi atau transportasi pemeriksaan lapangan yang akan dihitung terpisah sesuai dengan kebutuhan aktual. Menurut indonesia.go.id, biaya ini relatif terjangkau mengingat manfaat jangka panjang yang diperoleh dari kepemilikan sertifikat halal.

Kabar baik bagi pelaku usaha adalah bahwa mulai tahun 2024, masa berlaku sertifikat halal telah diubah menjadi seumur hidup, selama tidak ada perubahan bahan baku, proses produksi, atau pemasok. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mengharuskan perpanjangan setiap 4 tahun. Jika terjadi perubahan pada aspek-aspek tersebut, pelaku usaha cukup melakukan pengajuan ulang sertifikat halal untuk bagian yang mengalami perubahan. BPJPH juga menyiapkan kuota sertifikasi halal gratis (Sehati) sebanyak 1,2 juta sertifikat halal pada tahun 2025 untuk mendukung pelaku UMK.

7. FAQ (Frequently Asked Questions)

FAQ (Frequently Asked Questions) (c) Ilustrasi AI

1. Apakah semua produk wajib memiliki sertifikat halal?

Tidak semua produk wajib bersertifikat halal. Berdasarkan regulasi yang berlaku, kewajiban sertifikasi halal berlaku untuk tiga kategori utama: makanan dan minuman, jasa dan hasil penyembelihan, serta bahan tambahan pangan dan penolong untuk produk makanan dan minuman. Produk lain seperti tekstil, elektronik, dan peralatan rumah tangga tidak diwajibkan memiliki sertifikat halal.

2. Berapa lama proses pengurusan sertifikat halal?

Lama proses sertifikasi halal bervariasi tergantung skema yang dipilih dan kelengkapan dokumen. Untuk skema self declare, proses biasanya memakan waktu 2-4 minggu setelah dokumen lengkap. Sedangkan untuk skema reguler, proses dapat memakan waktu 1-3 bulan tergantung pada kompleksitas produk dan jadwal pemeriksaan LPH.

3. Apa yang terjadi jika produk tidak memiliki sertifikat halal setelah batas waktu yang ditetapkan?

Pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal untuk produk wajib halal setelah 17 Oktober 2024 akan dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, denda administratif, pencabutan sertifikat halal, hingga penarikan barang dari peredaran. Oleh karena itu, pelaku usaha disarankan untuk segera mengurus sertifikasi halal.

4. Apakah bisa mengurus sertifikat halal tanpa NIB?

Tidak, NIB (Nomor Induk Berusaha) merupakan persyaratan wajib untuk mengajukan sertifikasi halal. Pelaku usaha yang belum memiliki NIB harus terlebih dahulu mendaftar melalui Online Single Submission (OSS) di www.oss.go.id sebelum dapat mengajukan permohonan sertifikat halal.

5. Bagaimana cara memilih LPH yang tepat untuk sertifikasi halal?

Pemilihan LPH dapat dilakukan berdasarkan lokasi geografis, spesialisasi produk, dan reputasi lembaga. Pelaku usaha disarankan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan LPH pilihan untuk memahami proses dan persyaratan spesifik. Daftar LPH yang tersedia dapat dilihat di sistem SIHALAL saat melakukan pendaftaran.

6. Apakah sertifikat halal dari Indonesia diakui di negara lain?

Sertifikat halal Indonesia umumnya diakui di banyak negara, terutama negara-negara ASEAN dan Timur Tengah. Namun, untuk ekspor ke negara tertentu, mungkin diperlukan sertifikasi tambahan atau mutual recognition agreement. Pelaku usaha disarankan untuk mengecek persyaratan spesifik negara tujuan ekspor.

7. Apa perbedaan antara logo halal MUI dan logo halal BPJPH?

Sejak tahun 2019, kewenangan penerbitan sertifikat halal telah beralih dari MUI ke BPJPH. Logo halal yang sah saat ini adalah logo halal BPJPH yang berbentuk bulat dengan tulisan "HALAL" dan nomor sertifikat. Logo halal MUI yang lama sudah tidak berlaku untuk sertifikat baru, meskipun sertifikat lama yang masih berlaku tetap sah hingga masa berlakunya habis.

Yuk, baca artikel seputar panduan dan cara menarik lainnya di Kapanlagi.com. Kalau bukan sekarang, KapanLagi?

(kpl/vna)

Rekomendasi
Trending