Film ini dibuka dengan suasana tegang di Srebrenica, wilayah yang telah lama terjepit di antara
kecemasan perang dan harapan kosong pada perlindungan internasional. Aida Selmanagic, mantan
guru sekolah menengah yang kini bekerja sebagai penerjemah untuk pasukan penjaga perdamaian
Belanda, menerjemahkan percakapan antara Komandan Dutchbat, Thom Karremans, dan Wali Kota
Srebrenica.
Sang Wali Kota yang gelisah berulang kali menanyakan rencana Dutchbat bila
pesawat NATO tidak datang untuk membantu mereka menghadapi pasukan VRS yang terus maju.
Karremans, yang sama gugupnya, meyakinkannya bahwa pesawat itu pasti akan datang. Jawaban
tersebut lebih terdengar seperti harapan yang dipaksakan daripada keyakinan sejati.
Di
apartemen sederhana milik Aida, suaminya yang bernama Nihad dan kedua putra mereka, Hamdija
dan Sejo, menyaksikan berita yang mengabarkan bahwa Srebrenica telah jatuh ke tangan pasukan
Republika Srpska, meskipun kota itu telah ditetapkan sebagai kawasan aman oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa.
Suara ledakan dan bayangan asap sudah semakin dekat. Tidak
ada waktu lagi untuk berpikir panjang. Mereka segera meninggalkan apartemen dan bergabung
dengan ribuan warga lain yang bergerak menuju pangkalan Perserikatan Bangsa Bangsa di Potocari,
satu-satunya tempat yang mereka yakini masih aman.
Arus manusia mengalir
tanpa henti menuju pangkalan, membawa tangisan, doa, dan ketakutan yang tidak mampu mereka
sembunyikan. Namun pangkalan itu tidak sanggup menampung puluhan ribu jiwa yang datang untuk
berlindung. Banyak orang tertahan di luar gerbang. Aida, yang harus tetap bertugas sebagai
penerjemah di dalam pangkalan, terombang-ambing antara tanggung jawab profesional dan cintanya
pada keluarga.
Ia berusaha menemukan Nihad dan anak-anaknya, tetapi
kerumunan begitu padat hingga ia kehilangan jejak. Setelah mencari ke segala penjuru, ia berhasil
menemukan Sejo di dalam pangkalan. Dengan suara putus asa, Sejo menjelaskan bahwa Nihad dan
Hamdija terjebak di luar bersama lautan pengungsi lain yang tidak bisa masuk.
Sementara itu, Jenderal Ratko Mladic, komandan VRS yang paling ditakuti, memasuki kota
Srebrenica dengan langkah penuh kemenangan. Ia berjalan di antara puing-puing yang masih berasap
sambil merekam dirinya sendiri dan menyatakan bahwa kota itu telah dibebaskan. Senyumnya yang
lebar terasa menakutkan karena di baliknya tersimpan rencana yang tidak pernah diucapkan secara
terang-terangan.
Di dalam pangkalan, Dutchbat membutuhkan tiga wakil warga
sipil untuk ikut dalam pertemuan dengan Mladic. Aida memohon kepada Mayor Rob Franken agar
memilih Nihad, karena tidak ada cukup sukarelawan dari dalam pangkalan. Dengan penuh keraguan,
Franken akhirnya menyetujuinya. Pada malam hari, Aida menyelinapkan Nihad dan Hamdija ke dalam
pangkalan dengan bantuan Franken. Ia tahu bahwa keputusannya melanggar aturan, tetapi ia tidak
menemukan pilihan lain yang dapat menyelamatkan keluarganya.
Dalam
pertemuan dengan Mladic, hadir pula Muharem dan Camila sebagai wakil sipil lainnya. Mladic
menjanjikan bahwa para warga akan diangkut dengan bus menuju wilayah aman di Kladanj. Nihad dan
pihak Belanda ingin percaya pada janji tersebut, sementara Camila memahami bahwa janji itu tidak
lebih dari topeng untuk menyembunyikan niat sebenarnya.
Ketegangan
semakin meningkat ketika pasukan VRS tiba di pangkalan dan menuntut untuk diizinkan masuk.
Dengan rasa takut yang tidak ia sembunyikan, Karremans memerintahkan Franken untuk membukakan
gerbang. VRS masuk dan langsung menghina warga Bosnia yang bersembunyi di dalam pangkalan.
Mereka memeriksa setiap sudut dengan mata yang penuh curiga. Tidak lama kemudian, bus yang
dijanjikan Mladic tiba. Pasukan VRS memerintahkan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.
Tangis pecah dari segala arah ketika keluarga dipaksa berpisah.
Aida yang
menyadari ancaman terhadap keluarganya memohon kepada tentara Belanda untuk melindungi
mereka. Namun para tentara tidak berani menentang perintah. Tarik, teman Aida sesama penerjemah,
berusaha membantu dengan memasukkan nama keluarga Aida ke dalam daftar personel pangkalan.
Namun harapan itu hancur saat tentara Belanda mencoret nama mereka.
Dalam keputusasaan, Aida mencoba menyembunyikan suami dan anak-anaknya di dalam salah
satu mesin besar di pabrik baterai yang menjadi lokasi pangkalan tersebut. Sementara itu, Mladic
kembali merekam dirinya sendiri, kali ini sambil mengangkat tangan dan bersumpah bahwa tidak ada
yang perlu takut karena ia menjamin keselamatan mereka. Namun wajah-wajah para perempuan
Bosnia di bus menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak percaya pada kata-katanya.
Upaya Aida untuk menyelamatkan keluarganya gagal ketika pasukan VRS
menemukan mereka. Nihad dan kedua putranya ditarik keluar dan dibawa ke barisan para pria yang
dipaksa naik truk. Di detik terakhir, Franken menawarkan perlindungan untuk Nihad karena perannya
dalam negosiasi.
Aida memohon agar salah satu anaknya yang dilindungi,
tetapi Franken menolak. Dalam keheningan yang mencekik, Nihad memutuskan untuk tetap bersama
putra-putranya. Ia naik ke truk bersama mereka, sementara Aida berteriak sekuat tenaga sambil
berusaha mengejar kendaraan yang perlahan menjauh.
Truk itu kemudian
membawa mereka menuju Dom Kulture di Pilica. Di tempat itu, para pria dikumpulkan. Tidak ada yang
tahu apa yang menunggu mereka di balik pintu besar gedung tersebut, tetapi suasana muram dan
tatapan kosong para penjaga menandakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Dalam kondisi di mana harapan terasa semakin jauh dan kebenaran semakin tenggelam di
bawah kekejaman perang, apakah Aida masih bisa menemukan celah untuk menyelamatkan
keluarganya, ataukah keputusan yang telah dibuat malam itu akan menjadi awal dari kehilangan yang
tidak mampu ia pulihkan seumur hidup?
Penulis artikel: Abdilla Monica Permata
B.