Di sebuah sudut kecil di Washington Heights, Usnavi de la Vega berdiri di depan sekelompok anak-
anak yang duduk dengan penuh perhatian. Dengan senyum yang menenangkan, ia mulai menceritakan
kisah tentang lingkungan yang telah membesarkannya. Cerita itu membawa mereka ke sepuluh tahun
sebelumnya, ketika Usnavi masih menjadi pemilik bodega sederhana di jalanan yang selalu ramai oleh
tawa, musik, dan mimpi yang belum terwujud.
Pada masa itu, hari-hari Usnavi selalu
dimulai sejak matahari belum naik, dimulai dengan menyalakan lampu bodega dan menegur Graffiti
Pete yang gemar meninggalkan coretan di pintu tokonya. Meski kesal, Usnavi diam-diam menyukai
semangat khas anak muda itu. Dalam rutinitas paginya, ia memperkenalkan orang-orang yang
membentuk warna Washington Heights.
Ada Abuela Claudia, perempuan tua
bijak yang bertahun-tahun merawatnya setelah ayah dan ibunya tiada. Ada Kevin Rosario, pemilik
perusahaan taksi yang selalu terlihat tegas tetapi menyimpan kepedulian mendalam terhadap
putrinya. Benny, sahabat terbaik Usnavi, bekerja untuk Kevin dan menjadi suara tenang di tengah hiruk-
pikuk kota. Ada juga para perempuan salon, Daniela, Carla, dan Cuca, yang memenuhi lingkungan itu
dengan gosip segar, tawa renyah, dan energi yang tidak pernah padam. Sonny, sepupu Usnavi yang
masih remaja, sering membantu menjaga bodega. Dan tentu saja Vanessa, perempuan yang membuat
Usnavi selalu gugup meski hanya berdiri di dekatnya.
Pada hari yang tampak
biasa, Alejandro yang merupakan pengacara sekaligus teman keluarga datang memberi kabar besar.
Ia mengatakan bahwa bisnis almarhum ayah Usnavi di Republik Dominika, tanah kelahiran keluarga itu,
kini dijual dan bisa dibeli kembali. Bagi Usnavi, ini adalah kesempatan untuk mewujudkan impian lama
yaitu kembali ke tanah asal dan memulai hidup baru di sana.
Sementara itu,
Nina Rosario pulang ke kampung halamannya setelah menjalani masa kuliah di Stanford. Benny
menyambutnya, dan keduanya mengingat masa-masa ketika mereka masih remaja yang banyak
menghabiskan waktu bersama. Meskipun Nina berusaha tersenyum, ia menyimpan beban berat dalam
hatinya. Ketika mencoba menceritakan kesulitannya, ayahnya justru mengabaikannya dan meminta
Nina tidak khawatir mengenai biaya kuliah.
Nina kemudian mampir ke salon
Daniela yang sedang bersiap pindah ke Bronx karena biaya sewa di Manhattan yang terus naik. Saat
merias rambut bersama Carla dan Cuca, Nina akhirnya mengaku bahwa ia telah keluar dari Stanford.
Ia tidak hanya mengalami kesulitan finansial tetapi juga menghadapi perlakuan rasis yang
membuatnya merasa tidak pernah benar-benar diterima.
Di sisi lain, Vanessa
menjalani harinya dengan penuh harapan. Ia mengajukan formulir sewa apartemen di pusat kota demi
mengejar impian menjadi perancang busana. Namun pengajuan itu ditolak, menambah panjang daftar
kekecewaan yang ia sembunyikan. Ia menuju bodega untuk menenangkan diri dan meminta kopi, di
mana Sonny berusaha menggali keberanian untuk mengatur pertemuan antara Vanessa dan Usnavi.
Beberapa jam kemudian, Sonny menemukan kabar mengejutkan. Salah satu
tiket lotre yang dijual bodega memenangkan hadiah puluhan ribu dolar. Kabar itu menyebar dengan
cepat dan seluruh komunitas membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika berhasil
mendapatkan uang tersebut. Di kolam umum, lamunan itu berubah menjadi percakapan panjang
tentang impian, kebebasan, dan kemungkinan hidup yang lebih baik. Sementara itu, penjual piragua
mengeluh tentang truk es krim Mister Softee yang selalu mengambil pelanggan di setiap sudut.
Benny dan Nina menghabiskan waktu bersama dengan mengenang masa kecil
mereka. Benny meyakinkan Nina bahwa ia memiliki nilai lebih besar daripada semua ketakutan yang
membuatnya mundur. Di tempat lain, Usnavi berbicara dengan ayah Sonny untuk membujuknya
mengizinkan Sonny ikut dengannya ke Republik Dominika. Namun percakapan itu berubah tegang
ketika ayah Sonny mengakui bahwa ia dan Sonny tidak memiliki dokumen resmi sehingga tidak dapat
bepergian.
Tekanan semakin besar ketika Kevin memutuskan menjual bisnisnya
untuk membiayai kuliah Nina. Namun Nina menolak dan akhirnya mengatakan alasan sebenarnya
mengapa ia keluar dari Stanford, yaitu perlakuan rasis yang membuatnya merasa tidak mampu
bertahan.
Pada malam harinya, Usnavi dan Vanessa pergi ke klub salsa. Usnavi
yang gugup tidak mampu mengimbangi Vanessa yang lincah. Ketika Vanessa menari dengan banyak
pria, Usnavi mencoba membuatnya cemburu dengan menari dengan perempuan lain. Ketegangan itu
tidak sempat selesai karena tiba-tiba pemadaman listrik melanda seluruh lingkungan. Sonny dan
Graffiti Pete menyalakan kembang api untuk memberi penerangan darurat. Dalam suasana yang
kacau, Vanessa dan Usnavi malah bertengkar, membuat Vanessa menjauh darinya.
Usnavi, Benny, dan beberapa lainnya berkumpul di rumah Abuela Claudia. Cuaca panas membuat
kondisi perempuan tua itu melemah. Usnavi membantunya beristirahat sambil mengenang
pengorbanan Abuela sejak tiba dari Kuba hingga membangun hidup di Nueva York dengan kesabaran
dan keyakinan. Malam itu, Abuela menghembuskan napas terakhir dan seluruh lingkungan berkabung
atas kepergiannya.
Dalam suasana berduka, Sonny menghadiri demonstrasi
DACA dan mengetahui bahwa statusnya sebagai imigran tanpa dokumen membuatnya tidak bisa
mendaftar kuliah. Kabar itu mengguncangnya dan membuat Nina berpikir ulang mengenai jalan
hidupnya. Ia mulai menyusun rencana untuk kembali ke Stanford dan memperjuangkan masa depan
bagi anak-anak imigran seperti Sonny.
Ketika Usnavi menemukan formulir sewa
Vanessa yang dibuang, ia merasa terpanggil untuk membantunya. Namun, apakah Usnavi pada
akhirnya akan meninggalkan Washington Heights untuk memulai kehidupan baru di tanah kelahiran
ayahnya, atau justru menemukan alasan untuk tetap tinggal bersama orang-orang yang kini menjadi
keluarganya?
Penulis artikel: Abdilla Monica Permata B.