Kapanlagi.com - Ditulis oleh: Lily Ariani
Kalau di Korea Selatan ada Bong Joon Ho yang getol mengangkat isu humanis di filmnya, maka di Jepang ada Hirokazu Kore-eda. Kore-eda sendiri bukanlah sosok yang asing di dunia perfilman. Tak hanya masuk di jajaran sineas legendaris Jepang, Kore-eda juga telah mencatatkan namanya sebagai sutradara prominen di kancah internasional.
Selama kurang lebih 33 tahun berkarir, Kore-eda telah menelurkan banyak karya yang sukses menggungah jiwa. Ia dikenal dengan film-filmnya yang lekat dengan tema keluarga. Selain itu, Kore-eda juga tak pernah absen mengangkat kisah orang-orang yang terpinggirkan.
Sebut saja NOBODY KNOWS. Film yang dirilis tahun 1988 tersebut diangkat dari kejadian nyata penelantaran anak di Sugamo, Tokyo. Kemudian, ada SHOPLIFTERS. Cerita tentang keluarga miskin di pinggiran Jepang yang terpaksa melakukan kejahatan. Hingga yang terakhir, MONSTER, memotret anak-anak yang tertindas sebab norma di masyarakat.
âIa (Hirokazu Kore-eda) merupakan sutradara sekaligus pendongeng yang suka menggali (cerita) di bawah permukaan dan mengekspos masalah maupun relasi yang dilupakan hingga yang harus dihadapi orang-orang Jepang,â begitu tutur Kaori Shoji, kritikus film dari The Japan Times.
Belajar di Departemen Letters, Arts, and Sciences Universitas Waseda, Kore-eda awalnya bercita-cita menjadi seorang novelis. Namun, jalan setelah lulus kuliah justru menuntunnya ke TV Man Union, sebuah perusahaan produksi televisi independen pertama di Jepang. Di sana, ia bekerja sebagai asisten sutradara untuk proyek dokumenter.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1991, Kore-eda merilis karya dokumenter televisinya sendiri bertajuk LESSONS FROM A CALF. Ia pun konsisten menggarap program dokumenter yang mengangkat isu humanis hingga terjun ke dunia film fitur dengan MABOROSI pada tahun 1995.
Meski kisah utamanya diadaptasi dari novel Maboroshi no Hikari karya Teru Miyamoto, beberapa bagian juga terinspirasi dari pengalaman pribadi Kore-eda. Salah satunya yakni kakek Kore-eda yang mengalami demensia, sama seperti nenek Yumiko di film MABOROSI.
Film debut yang menggabungkan narasi dokumenter dan fiksi tersebut sukses menyabet Golden Osella Award dari Venice Film Festival. MABOROSI juga mendapat respon positif dari kritikus film Amerika Serikat ternama, Siskel dan Ebert. Tak cukup sampai di situ, MABOROSI bahkan tercatat meraih rating sebesar 100% di situs Rotten Tomatoes.
Setelah MABOROSI, Kore-eda terus mengulangi kesuksesan yang sama dengan karya-karya berikutnya. Ia bersinar di banyak ajang penghargaan hingga pantas dijuluki Raja Festival Film Internasional.
Berkat film AFTER LIFE, Kore-eda berhasil membawa pulang piala Best Film dan Best Screenplay dari Buenos Aires Internasional Festival of Independent Cinema. Kemudian, lewat NOBODY KNOWS, ia berhasil memenangkan Best Director di Blue Ribbon Awards. Ada pula Jury Prize dari Cannes Film Festival yang didapatkannya hasil menyutradarai LIKE FATHER, LIKE SON.
Daftar tersebut hanya sebagian kecil dari seluruh prestasi Kore-eda. Masih ada sederet judul film yang juga mentereng di ajang penghargaan seperti STILL WALKING, I WISH, OUR LITTLE SISTER, hingga BROKER.
Tahun 2018, Kore-eda merilis SHOPLIFTERS, sebuah film yang bercerita tentang keluarga miskin di pinggiran Jepang. Keluarga tersebut terdiri dari lima anggota: Osamu sebagai kepala keluarga, sang istri Nobuyo, nenek Hatsue, anak perempuan Aki, anak laki-laki Shota, dan anak adopsi bernama Yuri. Karena kondisi ekonomi yang sulit, beberapa anggota keluarga tersebut terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di film ini, Kore-eda mengenalkan konsep hubungan keluarga yang tidak terjalin melalui ikatan darah. âPada awalnya saya berpikir, âBagaimana caranya membuat (film) keluarga yang tidak terhubung melalui ikatan darah?ââ Kepada Los Angeles Times, Kore-eda kemudian menyimpulkan, âSaya bisa menghubungkan mereka lewat tindak kejahatan.â
Karena kepiawaian Kore-eda dalam menyajikan kisah keluarga yang begitu kompleks dan mendalam, SHOPLIFTERS berhasil meraih Palme dâOr, sebuah penghargaan tertinggi di Cannes Film Festival. Dari sini, nama Hirokazu Kore-eda pun semakin dikenal di dunia perfilman global. SHOPLIFTERS juga terpilih menjadi representatif Jepang untuk kategori Best Foreign Language Film di ajang Academy Awards atau Oscar.
Kore-eda sempat menangani dua proyek film fitur berbahasa asing. Ia merilis film berbahasa Inggris-Perancis bertajuk THE TRUTH pada tahun 2019 dan film drama keluarga Korea, BROKER, pada 2022. MONSTER kemudian menjadi film Jepang pertama yang ditanganinya sejak perilisan SHOPLIFTERS.
Di proyek ini, Kore-eda tidak bertanggung jawab untuk skenario film. Ia bekerja sama dengan penulis naskah Yuji Sakamoto. Kore-eda pun mengaku dirinya sudah lama ingin bekerja dengan Sakamoto. Ia merasa memiliki ketertarikan akan subjek yang sama dengan sang penulis naskah.
MONSTER sendiri menghadirkan kisah dua anak laki-laki, Minato dan Yori, yang saling menyukai. Sayangnya, Minato sadar bahwa perasaannya tidak dapat diterima norma. Hal tersebut justru membuat Minato menimbulkan serangkaian masalah hanya karena tak leluasa berbicara.
Di Indonesia, film ini viral dan mendapat begitu banyak respon positif. Warganet pun bersimpati kepada dua tokoh utama, menyebut orang dewasa yang represif terhadap anak-anak sebagai âmonsterâ yang sebenarnya. Sementara itu, MONSTER mengantarkan Kore-eda ke Cannes untuk kesembilan kalinya. Film ini berhasil meraih penghargaan Best Screenplay dan Queer Palm.
Berkat sang ibunda, Hirokazu Kore-eda telah mengenal dunia film sejak dirinya masih muda. Keduanya sering menonton film di televisi bersama karena tidak bisa pergi ke bioskop.
âIbuku suka film! Ia mengagumi Ingrid Bergman, Joan Fontaine, Vivien Leigh. Kami tidak mampu pergi ke bioskop bersama, tapi ia selalu menonton film mereka di TV. Ia menghentikan semua urusan keluarga atau diskusi untuk menonton film ini. Kami akan menonton bersama. Jadi saya menyukai film â seperti dia,â ungkap Kore-eda sebagaimana dikutip The Guardian.
Walaupun sama-sama menggemari film, sang ibunda tak lantas merestui Kore-eda untuk berkarir sebagai sutradara. Saat diwawancarai The Guardian, Kore-eda pun menuturkan, âIbu saya sangat menentang ketika saya mengatakan saya ingin membuat film. Dia berkata bahwa saya harus menjadi pegawai negeri. Karena itu aman dan terjamin. Tapi ibu saya selalu bangga dengan film-film saya, dan akan memberikan kaset videonya kepada semua tetangga.â
Konsisten membuat film bertema keluarga, pengalaman pribadi nampaknya sedikit banyak mempengaruhi cara pandang sang sutradara. Sebagian besar film Kore-eda memang selalu memuat drama yang menyentuh dan menyakiti hati di saat bersamaan. Gambaran keluarga yang ditampilkan pun hampir selalu âtidak idealâ.
Kepada pihak The Guardian, Kore-eda berujar, âSaya senang membuat cerita tentang ini. Penting untuk memiliki cerita tentang sebuah keluarga yang beberapa anggota keluarganya hilang. Tapi ada orang lain yang mencoba mengambil alih peran orang tua. Mereka mencoba membangun kembali ikatan keluarga itu. Saya suka cerita seperti itu. Itu sangat mempengaruhi saya.â
Bagi Kore-eda, keluarga adalah tentang mengisi gap. Cara berpikir tersebut berangkat dari pengalaman pribadi sang sutradara yang telah merasakan banyak kehilangan. Ia bercerita, âDalam 15 tahun terakhir, saya kehilangan figur ayah. Saya juga kehilangan figur ibu. Dan kini, saya memiliki anak perempuan. Saya telah menjadi seorang ayah. Jadi saya menyadari bahwa apapun yang hilang dalam keluarga, kami selalu berusaha mengambil alih.â
Pada sebagian besar wawancara yang dilakoninya, ada satu pertanyaan yang kerap sekali diajukan kepada Kore-eda: bagaimana sang sutradara bekerja dan menangani aktor anak-anak?
Jawaban yang dilontarkan pun selalu konsisten. âBiasanya ketika saya bekerja dengan anak-anak dalam film saya, saya tidak memberi mereka naskahnya terlebih dahulu. Saya justru menjelaskan naskah dan alur cerita kepada mereka di lokasi syuting. Hasilnya, film-film saya semakin mendekati kepribadian sebenarnya dari aktor cilik tersebut,â ujar sang sutradara saat diwawancarai Rough Cut.
Selama puluhan tahun bekerja sebagai sutradara, Kore-eda memang hampir selalu menggaet aktor anak-anak. Dimulai dari dokumenter pertamanya, LESSONS FROM A CALF, hingga film terbaru yang bertajuk MONSTER.
Akan tetapi, di film MONSTER, Kore-eda mengambil pendekatan yang sedikit berbeda. Kore-eda berusaha keras untuk membangun karakter dan peran di luar kepribadian aktor cilik yang bekerja bersamanya. Hal tersebut ia lakukan dengan bantuan beberapa pihak profesional.
Di dunia perfilman Jepang, nama Hirokazu Kore-eda kerap disandingkan dengan Yasujiro Ozu, sutradara terkemuka yang juga spesialis drama pahit keluarga. Bahkan kritikus sekelas Roger Ebert pernah mengatakan, âJika ada yang bisa dianggap sebagai pewaris Yasujiro Ozu yang begitu hebat, mungkin itu adalah Hirokazu Kore-eda.â
Kore-eda tentu merasa tersanjung dengan pujian tersebut. Namun, sang sutradara juga berpikir bahwa karyanya lebih banyak dipengaruhi Mikio Nanase dan Ken Loach. Hal tersebut diungkapkannya saat melakukan wawancara bersama The Guardian.
âTentu saja saya menganggapnya sebagai pujian,â kata Kore-eda secara hati-hati. âSaya mencoba mengucapkan terima kasih. Tetapi, saya pikir karya saya lebih mirip Mikio Naruse [sutradara Jepang untuk drama kelas pekerja suram] â dan Ken Loach.â
Hampir semua film Kore-eda mendapat pujian dari kritikus dan bersinar di ajang penghargaan. Hal tersebut tentu menjadi sebuah prestasi yang besar. Namun, ketika ditanya karya film yang paling membuatnya bangga, jawaban Kore-eda agak sedikit mengejutkan.
âSemua film saya sangat berbeda. Ada yang dibuat dengan baik, ada pula yang tidak,â tutur Kore-eda sebagaimana dikutip di laman A Rabbitâs Foot.
Ia kemudian menambahkan, âBeberapa sangat mirip dengan saya, beberapa lagi saya berpikir âapakah itu benar-benar karya saya?â. Film STILL WALKING tidak dirilis secara besar-besaran di luar negeri. Film tersebut tidak terpilih untuk salah satu dari tiga festival film besar. Dan karena alasan ituâmungkin bukan 'kebanggaan'âtapi saya merasa sangat terhubung dengan film tersebut.â
Setelah menyelesaikan proyek terbarunya yang rilis pada 2023, MONSTER, Kore-eda tak lantas bersantai ria. Ia masih terus bekerja keras dan sedang mempersiapkan sebuah serial bertema samurai. Kepada Deadline, Kore-eda membocorkan, âSaat ini saya sedang mengerjakan drama streaming yang syuting pada musim gugur lalu. Saya sedang dalam tahap pengeditan untuk itu sekarang."
Ia melanjutkan, "Kami belum yakin layanan streaming mana yang akan mendapatkannya. Tapi ini berdasarkan serial NHK populer yang dibuat 40 tahun lalu. Ini adalah kisah yang sangat samurai. Totalnya ada tujuh episode.â
Kore-eda juga memberikan sedikit pandangannya soal industri perfilman Jepang di masa kini. Meski banyak pendatang baru dan jumlah penonton bertambah, hal tersebut tak lantas mencerminkan kesuksesan.
âStaf tidak mencari nafkah di industri ini, dan sangat sulit untuk mempertahankan mereka tetap bekerja di film. Sekarang banyak yang tampil, tapi tidak menghasilkan pendapatan sama sekali. Itulah poin yang harus kami perbaiki dan tingkatkan, jika tidak maka akan sangat sulit untuk terus membuat film Jepang di masa depan.â