Kapanlagi.com - Transportasi kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang kaya dan berwarna, menjadi bagian integral dari perkembangan infrastruktur transportasi kita. Banyak stasiun kereta api yang dulunya berfungsi sebagai penghubung vital antara berbagai daerah, kini hanya menyisakan jejak-jejak sejarah yang penuh kenangan.
Meskipun stasiun-stasiun ini sudah tidak lagi beroperasi, masing-masing menyimpan cerita unik yang patut untuk dikenang. Perubahan kebutuhan transportasi, pengembangan jalur baru, dan upaya modernisasi telah menyebabkan beberapa stasiun ditutup. Tak sedikit dari stasiun-stasiun tersebut memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti pendudukan Jepang dan sistem kerja paksa Romusha. Mereka menjadi saksi bisu dari dinamika transportasi serta perjuangan bangsa ini.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa stasiun kereta api yang telah menghentikan operasionalnya di berbagai daerah di Indonesia. Dari pulau Jawa yang padat hingga Sumatra yang kaya akan budaya, mari kita telusuri kisah-kisah menarik di balik stasiun-stasiun bersejarah ini. Simak ulasannya yang dirangkum oleh Kapanlagi.com dari berbagai sumber, Rabu (22/1).
Mengutip keretaanakbangsa.com, kereta api di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada masa kolonial Belanda. Salah satu jalur awalnya adalah Batavia (Jakarta) menuju Anyer Kidul di Banten. Seiring waktu, jalur ini meluas ke berbagai daerah, termasuk Sumatra dan Jawa Timur. Namun, banyak jalur dan stasiun akhirnya ditutup akibat perubahan kebutuhan transportasi.
Salah satu contohnya adalah Stasiun Anyer Kidul, yang dulu menjadi titik penting pengangkutan hasil bumi. Jalur ini ditutup pada tahun 1981, meninggalkan sisa-sisa rel dan stasiun yang kini menjadi situs sejarah. Penutupan lainnya adalah Stasiun Bayah, jalur yang dibangun oleh Jepang untuk mengangkut batubara, yang ditutup pada tahun 1951.
Penutupan stasiun ini juga dipengaruhi oleh perubahan moda transportasi. Perkembangan jalan raya membuat kereta api kehilangan perannya sebagai moda transportasi utama di beberapa daerah.
“Provinsi Banten memiliki jaringan Kereta Api yang menarik, karenajalur-jalurnya dibangun oleh tiga masa pemerintahan, yaitu Pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintahan Militer Jepang dan Pemerintahan Republik Indonesia," tulis laman tersebut.
Berikut adalah beberapa stasiun yang kini tidak lagi beroperasi:
Setiap stasiun memiliki cerita unik, baik sebagai bagian dari jalur perdagangan, tambang, atau transportasi umum.
Pulau Jawa menjadi pusat pengembangan kereta api pada masa kolonial. Beberapa stasiun yang kini tidak beroperasi adalah:
Modernisasi jalur kereta api membuat beberapa jalur lama ditinggalkan. Namun, banyak stasiun yang tetap dipertahankan sebagai cagar budaya.
Jalur kereta api Saketi-Bayah, yang dibangun oleh pemerintah Jepang pada tahun 1943 untuk mengangkut batubara dari tambang Bayah, menyimpan kisah kelam di balik namanya yang menyeramkan, "Jalur Maut." Proyek ini mengandalkan tenaga kerja paksa Romusha, menciptakan kenangan pahit di tengah keindahan alam.
Meskipun jalur ini terus beroperasi hingga tahun 1951 setelah Jepang menyerah, keterbatasan dana dan sepinya penduduk di sekitar wilayah tersebut akhirnya memaksa penutupan jalur ini. Kini, yang tersisa hanyalah jejak-jejak sejarah berupa pondasi rel dan bekas stasiun, mengingatkan kita akan masa lalu yang kelam namun penuh makna.
Di tengah upaya revitalisasi ekonomi dan pariwisata, Pemerintah Provinsi Banten tengah mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali jalur-jalur nonaktif yang bersejarah, seperti Cigading-Anyer Kidul dan Rangkasbitung-Labuan.
Langkah ini bukan hanya sekadar meningkatkan konektivitas antar wilayah, tetapi juga sebagai upaya pelestarian warisan sejarah yang kaya. Dengan potensi besar yang dimiliki, reaktivasi jalur-jalur ini diharapkan dapat mendorong pembangunan yang signifikan, terutama di daerah pedesaan yang selama ini terpinggirkan.
Banyak stasiun ditutup karena perubahan jalur, penurunan jumlah pengguna, dan perkembangan moda transportasi lain seperti jalan raya.
Rencana menarik tengah digodok untuk menghidupkan kembali beberapa jalur dan stasiun yang saat ini nonaktif, dengan tujuan utama mendongkrak perekonomian daerah.
Penutupan stasiun memang menghapus kemudahan akses transportasi yang selama ini dinikmati, namun di balik tantangan tersebut, masyarakat justru terpacu untuk berinovasi dan menciptakan alternatif moda transportasi yang segar dan kreatif.