Kapanlagi.com - Di balik keagungan Rasulullah Muhammad SAW, terdapat kisah mulia mengenai sosok sang ayah, Abdullah bin Abdul Muthalib. Meskipun wafat sebelum kelahiran putranya, Abdullah memiliki peran fundamental dalam sejarah Islam, dikenang sebagai pemuda yang jujur, saleh, dan berakhlak mulia di tengah masyarakat suku Quraisy Makkah. Kisah hidupnya diwarnai peristiwa dramatis, termasuk nazar sang ayah, Abdul Muthalib, yang hampir merenggut nyawanya, sebuah peristiwa yang menjadi bagian integral dari latar belakang keluarga Rasulullah SAW yang penuh berkah. Sebagaimana dijelaskan dalam buku 1001 Tanya Jawab Dalam Islam karya Ust. Muksin Matheer, Nabi Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (21 April 571 M) sebagai putra dari Abdullah dan Siti Aminah binti Wahab, dengan takdir bahwa Abdullah meninggal dunia saat Sang Nabi masih dalam kandungan ibunya. Mari kita selami lebih dalam kisah menakjubkan ayah Nabi Muhammad SAW ini, hanya di KapanLagi.com!
Abdullah bin Abdul Muthalib dilahirkan dalam kemuliaan sebagai putra dari Abdul Muthalib, pemimpin suku Quraisy yang sangat dihormati di Makkah. Meskipun nama lengkapnya adalah Abdullah bin Syaibah, beliau lebih dikenal dengan sapaan berdasarkan nama ayahnya yang terkenal. Tumbuh besar dalam lingkungan bangsawan Arab, Abdullah mewarisi nasab terpandang yang menjunjung tinggi nilai kemuliaan, kejujuran, dan kehormatan. Beliau dikenal sebagai pemuda yang bukan hanya tampan dan dikagumi kaum wanita, tetapi juga memiliki kepribadian yang saleh dan jujur yang membuatnya dihormati masyarakat. Mengikuti tradisi keluarganya, Abdullah berprofesi sebagai pedagang dan mahir dalam berbagai keterampilan, mulai dari memainkan pedang, berburu, hingga berniaga, yang merupakan mata pencaharian utama penduduk Makkah kala itu.
Peristiwa paling terkenal dalam hidup Abdullah adalah ketika ia hampir dikorbankan oleh ayahnya sendiri karena sebuah nazar. Abdul Muthalib pernah bernazar kepada Allah SWT bahwa jika diberi banyak anak laki-laki yang dapat menjadi penjaga dan pembantunya, ia akan mengorbankan salah satu di antara mereka.
Melansir dari buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, peristiwa ini tidak hanya menyelamatkan Abdullah tetapi juga menetapkan tradisi diyat (tebusan darah) dalam hukum Arab yang kemudian diadopsi dalam syariat Islam dengan nilai seratus ekor unta.
Setelah selamat dari peristiwa nazar, Abdullah tumbuh menjadi pemuda dewasa yang siap berumah tangga. Ia kemudian menikah dengan Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf, seorang wanita mulia dari keluarga terpandang dalam suku Quraisy. Pernikahan ini menjadi awal dari kelahiran sosok yang akan mengubah sejarah dunia.
Aminah binti Wahab dipilih sebagai istri Abdullah bukan hanya karena kecantikan dan kemuliaan nasabnya, tetapi juga karena akhlak dan kepribadiannya yang luhur. Pernikahan mereka menjadi penyatuan dua keluarga mulia dalam suku Quraisy yang kelak akan melahirkan Rasulullah SAW.
Kehidupan rumah tangga Abdullah dan Aminah berlangsung harmonis meskipun dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai seorang pedagang, Abdullah sering melakukan perjalanan dagang yang merupakan tradisi dan mata pencaharian utama masyarakat Makkah pada masa itu.
Pernikahan mereka diberkahi dengan kehamilan Aminah yang mengandung calon Rasulullah SAW. Namun, takdir Allah menghendaki bahwa Abdullah tidak akan pernah bertemu dengan putranya yang kelak menjadi pemimpin seluruh umat manusia.
Abdullah bin Abdul Muthalib wafat dalam usia yang sangat muda, diperkirakan antara 18 hingga 25 tahun, meninggalkan kisah yang penuh takdir. Kematiannya terjadi ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari kafilah dagang ke Syam (Suriah). Malangnya, di tengah perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan harus singgah di Yatsrib (Madinah) untuk beristirahat dan mencari pengobatan. Kondisinya terus memburuk hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir di kota tersebut, jauh dari Makkah. Ketika ia wafat, istrinya, Aminah binti Wahab, sedang mengandung Nabi Muhammad SAW dengan usia kandungan sekitar 2 hingga 6 bulan.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW terlahir dalam keadaan yatim, tak pernah merasakan kasih sayang dan bimbingan langsung dari ayah kandungnya. Sebagaimana diulas M. Quraish Shihab, kematian Abdullah di usia muda ini diyakini memiliki hikmah tersendiri dalam rencana agung Allah SWT, yaitu untuk mendidik langsung calon Rasul-Nya tanpa pengaruh manusia lain, memastikan kemurnian risalahnya.
Meskipun Abdullah bin Abdul Muthalib wafat sebelum bertemu langsung dengan putranya, beliau meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi Nabi Muhammad SAW. Warisan ini bukan hanya bersifat material, tetapi yang jauh lebih penting adalah warisan akhlak, nasab yang mulia, dan reputasi baik dalam masyarakat Quraisy.
Dari segi materi, Abdullah memang meninggalkan sedikit harta, termasuk lima ekor unta, sekawanan kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian menjadi pengasuh setia Nabi. Namun, warisan terbesarnya adalah modal sosial: reputasi Abdullah sebagai pemuda yang jujur, saleh, dan mulia. Reputasi inilah yang menjadi jembatan bagi Nabi Muhammad SAW saat tumbuh dewasa, membuat masyarakat Quraisy mengenalnya sebagai putra dari sosok yang terpercaya, hingga beliau sendiri mendapat julukan "Al-Amin" (yang dapat dipercaya). Selain itu, nasab yang mulia dari pihak ayah juga memberikan legitimasi sosial yang kuat dalam masyarakat Arab yang menjunjung tinggi keturunan, mempermudah penerimaan awal masyarakat terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Para ulama dan sejarawan Islam melihat adanya hikmah yang mendalam di balik takdir wafatnya Abdullah bin Abdul Muthalib sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keadaan yatim ini merupakan bagian dari rencana agung Allah SWT untuk mempersiapkan Rasul-Nya secara unik:
Hikmah utama di balik ketiadaan figur ayah adalah agar Allah SWT langsung yang mendidik dan membimbing calon Rasul-Nya. Hal ini memastikan bahwa pembentukan kepribadian Nabi Muhammad SAW tidak dipengaruhi oleh tradisi, pemikiran, atau pemahaman manusia lain yang mungkin bertentangan dengan misi kenabian yang akan diemban. Allah mempersiapkan Rasul-Nya dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih untuk menerima wahyu.
Kondisi yatim sejak lahir juga menumbuhkan empati yang besar dalam diri Nabi Muhammad SAW terhadap kaum yang lemah, terutama anak-anak yatim. Pengalaman pribadi ini tercermin jelas dalam ajaran Islam yang sangat fokus pada hak-hak anak yatim dan menganjurkan umat untuk merawat mereka dengan penuh kasih sayang dan keadilan.
Fakta bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya yatim tetapi kemudian menjadi yatim piatu (karena ibunya juga wafat ketika beliau berusia 6 tahun) membangun ketabahan dan kemandirian yang luar biasa dalam dirinya. Pengalaman hidup yang keras sejak dini ini menjadi bekal dan persiapan mental yang krusial bagi beliau untuk menghadapi berbagai tantangan berat dalam menjalankan misi dakwah Islam di masa depan.
Nama ayah Nabi Muhammad SAW adalah Abdullah bin Abdul Muthalib. Beliau adalah putra dari Abdul Muthalib, pemimpin suku Quraisy yang sangat dihormati di Makkah pada masa itu.
Abdullah meninggal dunia ketika Nabi Muhammad SAW masih dalam kandungan ibunya, Aminah binti Wahab. Beliau wafat dalam perjalanan dagang di Yatsrib (Madinah) pada usia sekitar 18-25 tahun.
Abdullah hampir dikorbankan karena nazar yang dibuat oleh ayahnya, Abdul Muthalib. Abdul Muthalib bernazar akan mengorbankan salah satu anaknya jika diberi banyak anak laki-laki, dan nama Abdullah yang terpilih dalam undian.
Abdullah selamat melalui sistem undian dengan unta sebagai tebusan. Setelah nama Abdullah keluar sepuluh kali berturut-turut, akhirnya pada undian kesebelas nama unta yang terpilih, sehingga Abdullah terbebas dengan tebusan 100 ekor unta.
Abdullah menikah dengan Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf, seorang wanita mulia dari keluarga terpandang dalam suku Quraisy. Dari pernikahan ini lahirlah Nabi Muhammad SAW.
Abdullah meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekawanan kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian menjadi pengasuh Nabi Muhammad SAW.
Hikmah utamanya adalah agar Allah SWT langsung mendidik calon Rasul-Nya tanpa pengaruh figur ayah. Kondisi yatim juga membentuk empati Nabi Muhammad terhadap kaum lemah dan mempersiapkan ketabahan untuk menghadapi tantangan dakwah.