Lahannya Disita, Potret Atalarik Syach Sempat Tawarkan Mobil Seharga 200 Juta Namun Ditolak
KapanLagi.com®/Budy Santoso
Eksekusi rumah Atalarik Syach di Cibinong berlanjut pada Jumat (15/5/2025). Kali ini, agenda yang dijalankan adalah penyitaan dan penghancuran sebagian aset bangunan yang berdiri di atas tanah milik penggugat, Dede Tasno.
Kuasa hukum Dede Tasno, Eka Bagus Setyawan, menjelaskan bahwa proses ini dilakukan karena tidak ada kesepakatan tuntas sebelumnya. Ia menyebut bangunan yang berdiri di atas lahan kliennya harus dihentikan fungsinya dan dibongkar karena tidak sah.
"Hari ini kan agendanya lanjutan penyitaan aset, penghancuran lah gitu karena bangunannya berdiri di atas tanah milik kami," ujar Eka saat ditemui di lokasi.
Lihat ini: Potret Proses Eksekusi Rumah Atalarik Syach Dilanjutkan Usai Negosiasi Sebelumnya Alot
Simak cerita selengkapnya di Liputan6
Dalam proses negosiasi terbaru, Eka mengungkapkan adanya tawaran dari pihak Atalarik Syach. Tawaran tersebut berupa jaminan mobil dengan BPKB, namun ditolak oleh pihak penggugat.
"Negosiasinya tadi dia kan sempat tawarkan BPKB mobil ya seperti yang saya sampaikan, yang dikatakan mobil tersebut bisa laku sampai Rp200 juta saya nggak terima itu jadi saya minta uang aja," ucapnya.
Eka menyatakan akhirnya Atalarik bersedia memberikan uang tunai sebagai pembayaran awal. Uang tersebut sudah diterima sebagian dan akan dilanjutkan secara bertahap.
"Tapi kesanggupan dari Atalarik dia bisa kasih hari ini, tadi kan saya sempat bilang jam 11 ya kita tunggu transferan, terus akhirnya barusan sudah tapi baru Rp200 juta," katanya.
Dari hasil kesepakatan sementara, Atalarik Syach menyanggupi pembayaran awal sebesar Rp300 juta. Sisanya akan dibayarkan secara angsuran selama beberapa bulan ke depan.
"Jadi kesanggupan dia bayar Rp300 juta dulu, abis itu dia termin selama beberapa bulan," jelas Eka.
Eka menyebut pihaknya memberikan waktu hingga tiga bulan untuk pelunasan sisa pembayaran. Ia menegaskan proses ini tetap dalam pengawasan hukum.
"3 bulan," jawabnya singkat saat ditanya soal tenggat waktu.
Total nilai ganti rugi yang dibebankan pada Atalarik diperkirakan mencapai Rp850 juta. Angka tersebut terdiri dari nilai bangunan yang berdiri di atas lahan milik kliennya.
"Jadi gini, angka Rp850 juta itu kan adalah dengan Rp550 juta bangunan dia yang berdiri di atas tanah kita, nah Rp550 juta itu harga berapa per meternya? Rp1,5 juta. Rp1,5 juta tinggal dikalikan saja. Jadi terlahirlah angka Rp850 juta itu," terang Eka.
Sisa dari total tersebut masih belum dibayar dan saat ini tengah ditunggu oleh tim kuasa hukum. Eka mengatakan pihaknya akan terus mengawal proses ini hingga tuntas.
"Kita tunggu hari ini juga," kata dia.
Untuk teknis pembayaran cicilan Rp500 juta sisanya, Eka menyerahkan pengaturannya kepada tim internal. Ia mengaku lebih mengutamakan penyelesaian secara menyeluruh ketimbang teknis cicilan.
"Untuk teknisnya ini kan sambil diatur sama teman-teman kita di dalam, yang penting bisa selesai. Tapi yang saya sesalkan kenapa sih harus tunggu saya sampai begini dulu baru kalian mau selesaikan," tuturnya.
Menurut Eka, sengketa ini seharusnya bisa diselesaikan jauh lebih awal jika Atalarik mau berkomunikasi dengan terbuka. Ia menilai seharusnya Atalarik menerima kenyataan hukum sejak awal.
"Kenapa enggak dari kemarin kalian komunikasikan dan sehingga ini tidak terjadi. Akui saja lah jangan sampai menunggu begini, toh Anda kalah-kalah juga," ucapnya.
Pengakuan yang dimaksud Eka adalah soal status kepemilikan lahan berdasarkan keputusan pengadilan. Karena bangunan berdiri di atas tanah milik kliennya, maka negosiasi pun tak terelakkan.
"Ya bahwa tanahnya dia tidak sah berdasarkan keputusan pengadilan dan ada bangunan dia yang berdiri di atas tanah kita kan. Sehingga terjadilah negosiasi ini," tegasnya.
Eka juga menyampaikan bahwa tanah tersebut telah dimiliki oleh perusahaan kliennya sejak tahun 1980. Proses hukum yang panjang tidak menyurutkan niat kliennya untuk menuntut keadilan.
"Dia yang berdiri juga di atas tanah kita, gitu kan. Sehingga terjadilah negosiasi ini, gitu loh. Tanah ini tuh dari tahun 80, dimiliki oleh perusahaan," ujarnya.
Selama proses hukum berjalan, Eka menyebut Atalarik tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan perkara secara damai. Bahkan saat mediasi di kelurahan, tidak ada tanggapan yang berarti.
"Pihak Atalarik menutup. Kita berapa kali lakuin mediasi Atalarik di kelurahan, nggak juga," katanya.
Ia juga menyesalkan bahwa upaya penyelesaian damai yang seharusnya bisa dijembatani lewat prinsip keadilan restoratif tidak pernah terjadi. Maka eksekusi pun menjadi pilihan terakhir.
"Dan selama lagi proses ini kita juga dalam hukum itu kan ada yang namanya restoratif justice ya. Upaya perdamaian. Tidak juga," tegasnya.
Meski begitu, Eka tetap menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam pelaksanaan hukum. Ia mengatakan pihaknya tetap menahan diri sejauh mungkin sebelum akhirnya menempuh eksekusi.
"Namun demikian ya tetap harus kita ketahui juga kan, sisi kemanusiaan harus kita kedepankan. Walaupun upaya eksekusi itu upaya terakhir kita, tapi tidak memungkinkan untuk kita melakukan itu," pungkasnya.