A Man Called Ahok
Biography Drama

A Man Called Ahok

2018 102 menit
8.8/10
Rating 8/10
Sutradara
Putrama Tuta
Penulis Skenario
Putrama Tuta Danny Jaka Sembada Ilya Sigma Rudi Valinka
Studio
The United Team of Art 700 Pictures Oreima Films

Sejak usia muda, Ahok (Daniel Mananta) tumbuh di lingkungan keluarga sederhana di Belitung yang menanamkan nilai disiplin dan kejujuran secara tegas. Ayahnya, Kim Nam (Yayak Ruhian), dikenal sebagai sosok pekerja keras yang mengelola usaha tambang dengan aturan ketat. Di rumah, Ahok dibiasakan hidup lurus, tidak mengambil yang bukan haknya, dan berani mengatakan benar sebagai benar. Didikan ini membentuk karakter Ahok kecil yang keras kepala, blak blakan, dan tidak suka kompromi terhadap kecurangan.

Masa kecil Ahok tidak selalu berjalan mulus. Ia sering dianggap berbeda oleh lingkungan sekitar karena sikapnya yang terlalu jujur dan sulit diam ketika melihat ketidakadilan. Namun Kim Nam justru mendorong anaknya untuk tidak takut dibenci jika berada di jalan yang benar. Dari ayahnya, Ahok belajar bahwa hidup bukan soal menyenangkan semua orang, tetapi tentang bertanggung jawab atas pilihan sendiri.

Saat beranjak dewasa, Ahok mulai terlibat lebih jauh dalam usaha keluarga. Dunia pertambangan membuka matanya pada realitas yang keras. Ia menyaksikan bagaimana praktik suap, manipulasi izin, dan permainan kotor menjadi hal yang dianggap wajar. Banyak pihak mencoba mendekati Kim Nam dan Ahok dengan iming iming keuntungan cepat. Namun prinsip keluarga mereka tidak mudah goyah. Setiap penolakan terhadap praktik curang sering berujung pada tekanan dan konflik.

Ahok yang masih muda mulai merasakan dilema antara bertahan dengan idealisme atau mengikuti arus demi kenyamanan. Ia melihat sendiri bagaimana orang jujur justru sering disingkirkan, sementara mereka yang licik mendapat jalan mulus. Pengalaman ini membentuk pandangannya tentang sistem yang rusak dan kebutuhan akan perubahan dari dalam.

Hubungan Ahok dengan ayahnya menjadi pusat perjalanan emosional cerita. Kim Nam bukan hanya figur otoritas, tetapi juga teladan moral yang keras namun penuh kasih. Ketika konflik bisnis semakin memanas dan tekanan datang dari berbagai arah, Kim Nam tetap berdiri tegak pada prinsipnya. Sikap ini memberi pengaruh besar pada Ahok, sekaligus menjadi beban emosional karena risiko yang harus ditanggung keluarga mereka.

Kehidupan Ahok juga diwarnai dinamika keluarga yang hangat namun penuh tantangan. Ibunya, Bui Thiam Nio (Linda Chu), berperan sebagai penyeimbang yang lembut dan penuh pengertian. Ia sering menjadi tempat Ahok mencurahkan kegelisahan, terutama saat ia mulai mempertanyakan pilihannya sendiri. Dukungan keluarga menjadi fondasi yang membuat Ahok tetap bertahan di tengah tekanan.

Seiring waktu, konflik di dunia usaha semakin memperjelas pandangan Ahok tentang pentingnya aturan dan ketegasan. Ia tidak tahan melihat praktik kotor yang merugikan banyak orang demi kepentingan segelintir pihak. Dalam berbagai peristiwa, Ahok memilih bersuara meski tahu konsekuensinya tidak ringan. Keputusannya sering memicu pertentangan, baik dengan rekan bisnis maupun lingkungan sekitar.

Perjalanan Ahok bukan hanya tentang melawan korupsi eksternal, tetapi juga tentang pergulatan batin. Ia harus menghadapi rasa lelah, marah, dan kecewa ketika kejujuran tidak selalu membawa hasil baik. Ada momen ketika Ahok mempertanyakan apakah sikap kerasnya justru menyulitkan orang orang terdekat. Namun setiap kali ragu, ia teringat pesan ayahnya tentang tanggung jawab moral.

Kondisi keluarga diuji ketika tekanan bisnis berdampak langsung pada kehidupan pribadi. Risiko finansial, ancaman, dan isolasi sosial menjadi bagian dari keseharian. Di titik ini, Ahok mulai memahami bahwa pilihan hidupnya tidak hanya memengaruhi dirinya sendiri. Ia belajar bahwa keberanian memiliki harga, dan harga itu sering dibayar oleh orang orang terdekat.

Pengalaman pahit dan manis di Belitung perlahan membentuk pola pikir Ahok tentang kepemimpinan. Ia menyadari bahwa perubahan tidak cukup dilakukan dari pinggir. Diperlukan keberanian untuk masuk ke sistem dan menantangnya secara langsung. Pemikiran ini belum menjelma sebagai ambisi politik, tetapi sudah menjadi benih kesadaran akan tanggung jawab yang lebih besar.

Hubungan Ahok dengan lingkungan sekitar tetap kompleks. Ada yang menghormatinya karena konsistensi, ada pula yang memusuhinya karena merasa terancam. Dalam setiap konflik, Ahok tetap memilih jalur yang menurutnya benar, meski harus berjalan sendirian. Sikap ini membuatnya semakin matang, sekaligus semakin keras.

Menjelang akhir perjalanan masa mudanya, Ahok berdiri sebagai pribadi yang utuh dengan prinsip kuat. Didikan ayah, pengalaman pahit di dunia usaha, dan dukungan keluarga membentuknya menjadi sosok yang tidak mudah goyah. Semua pengalaman itu menjadi bekal penting sebelum ia melangkah ke fase hidup berikutnya yang lebih besar dan penuh sorotan.

Kisah ini menutup dengan gambaran Ahok yang siap menghadapi dunia dengan segala risikonya. Ia bukan tokoh tanpa cela, tetapi seseorang yang memilih berdiri pada nilai yang diyakininya sejak kecil. Dari Belitung yang sederhana, Ahok membawa pelajaran tentang disiplin, keberanian, dan harga sebuah kejujuran. Apakah prinsip yang dibentuk sejak kecil itu cukup kuat untuk menghadapi dunia yang jauh lebih kejam di depan?

Penulis Artikel: Anastashia Gabriel

Daniel Mananta Ahok
Kin Wah Chew Tjung Kim Nam
Eric Febrian Ahok remaja
Denny Sumargo Tjung Kim Nam muda
Sita Nursanti Buniarti Ningsih
Eriska Rein Buniarti Ningsih
Jill Gladys Fifi
Donny Damara Pejabat
Edward Akbar Musyono
Ferry Salim Koh Asun