Lebih dari Sekadar Cuan, Merchandise Jadi Salah Satu Senjata Band Lawan Arus Utama

Penulis: Tantri Dwi Rahmawati

Diterbitkan:

Lebih dari Sekadar Cuan, Merchandise Jadi Salah Satu Senjata Band Lawan Arus Utama
Seringai © KapanLagi.com

Kapanlagi.com - Merchandise band kini bukan sekadar produk tambahan dalam industri musik. Banyak musisi Indonesia mulai menggarap lini merchandise secara serius sebagai bentuk ekspresi artistik sekaligus sarana menjalin kedekatan dengan penggemar.

Mulai dari kaos, topi, hingga koleksi edisi terbatas seperti poster dan vinil, produk-produk ini bukan hanya menarik dari sisi visual, tetapi juga memiliki nilai emosional bagi para fans.

Sejumlah nama besar seperti Seringai, The S.I.G.I.T, Navicula, Wali, hingga Deadsquad aktif memproduksi merchandise yang didesain khusus untuk menggambarkan karakter dan semangat musik mereka. Band-band ini tak jarang merilis edisi eksklusif dalam jumlah terbatas, yang membuat barang tersebut menjadi buruan kolektor.

1. Perkuat Engagement

Hal ini terbukti menjadi strategi efektif untuk memperkuat engagement, karena fans merasa menjadi bagian dari komunitas musik yang mereka cintai. Menurut laporan dari Vice Indonesia pada 2019 lalu, merchandise juga menjadi bentuk nyata hubungan timbal balik antara musisi dan pendengarnya.

Tak hanya sekadar memperluas portofolio bisnis, merchandise kini menjadi roda ekonomi yang sangat penting bagi band-band independen. Dalam kondisi industri musik yang semakin kompetitif, terutama di era digital yang menurunkan angka penjualan fisik musik, merchandise justru menjadi penyelamat finansial.

Penjualan produk ini kerap menjadi modal untuk membiayai produksi album, tur, hingga menjaga idealisme musikal mereka. Hal ini sangat dirasakan oleh band-band yang tidak bernaung di bawah label besar atau perusahaan manajemen musik arus utama.

(Ashanty berseteru dengan mantan karyawannya, dirinya bahkan sampai dilaporkan ke pihak berwajib.)

2. Modal untuk Berkarya

Modal untuk Berkarya

Jimi Multazam, vokalis band The Upstairs, secara terbuka pernah mengungkapkan bahwa artwork album Matraman yang dirilis pada 2004 masih terus diburu kolektor sampai sekarang. Hasil dari penjualan itu juga masih menghidupinya sampai sekarang.

Hal itu selaras dengan penuturan Fikri, kolektor merchandise band indie Tanah Air saat diwawancara pada Jumat (18/7) lalu. Ia mengaku suka koleksi kaos band karena suka artwork-nya.

"Suka artworknya, bandnya keren, sama emang suka aja. Ada beberapa lagunya lagi didengerin. Selain itu ya karena biar musik Indonesia jalan," terang Fikri.

"Biar mereka ada pemasukan buat bikin karya, tur, dll. Biar bisa beli alat yang bagus supaya hasilkan karya bagus juga," imbuh Fikri.

3. Bagian dari Idealisme

Bagian dari Idealisme

Selain sebagai penggerak ekonomi dan identitas visual, merchandise juga menjadi medium perlawanan terhadap dominasi label besar. Band memanfaatkan penjualan produk ini untuk membiayai tur mandiri dan proyek musik berisiko yang mungkin tak dilirik label. Bisa dibilang, merchandise menjadi alat perjuangan agar musisi bisa terus berkarya tanpa harus mengorbankan prinsip dan warna musik mereka.

Namun di tengah semangat ini, tantangan juga datang dari praktik pembajakan. Tidak sedikit pelaku usaha ilegal yang mencetak ulang kaos atau merchandise musisi populer tanpa izin. Produk-produk bajakan ini dijual dengan harga murah di pasaran, merugikan musisi dan merusak ekosistem pendukung industri musik.

4. Bajakan Bermunculan

Meskipun begitu, kesadaran konsumen mulai meningkat. Fans loyal kini lebih memilih membeli produk resmi dari situs band atau saat konser, sebagai bentuk dukungan langsung terhadap musisi idola mereka.

"Kebanyakan di sini pakai kaos yang asli kok band lokal. Udah banyak (penikmat musik) yang paham," pungkas Fikri.

(Deddy Corbuzier buka suara terkait isu cerai, marah ke pihak Pengadilan Agama!)

Rekomendasi
Trending