Nambi Narayanan seorang ilmuwan yang kini duduk di hadapan kamera dalam sebuah wawancara
televisi bersama aktor terkenal. Dengan suara tenang, ia mulai menelusuri kembali perjalanan panjang
hidupnya yang penuh pencapaian sekaligus luka.
Kisah itu membuka pintu menuju masa lalu
ketika ia masih menjadi seorang insinyur muda yang bekerja di Thumba Equatorial Rocket Launching
Station. Pada hari yang tampak seperti hari kerja biasa, sebuah percobaan nyaris berakhir tragis ketika
A. P. J. Abdul Kalam terancam terkena ledakan. Dalam hitungan detik, Nambi melompat dan menarik
rekannya itu keluar dari bahaya.
Pada tahun 1969, upayanya berbuah ketika ia diterima di
Princeton University untuk program magister di bidang pendorong roket berbahan bakar kimia.
Pemerintah India membiayai pendidikannya dengan harapan Nambi kembali membawa perubahan
bagi masa depan teknologi luar angkasa negaranya. Di Princeton, ia belajar di bawah bimbingan
Profesor Luigi Crocco, seorang pakar yang melihat kecemerlangan dalam diri Nambi. Crocco bahkan
merekomendasikannya untuk magang di NASA.
Saat bekerja di NASA, Nambi
bertemu Barry Amaldev dan ikut dalam proyek proyek besar yang membuatnya semakin dihormati.
NASA bahkan menawarkan gaji besar, posisi permanen, dan fasilitas yang cukup untuk membuat
siapa pun tinggal. Tetapi Nambi memilih untuk menolak. Ia memutuskan pulang ke India karena
percaya bahwa ilmu yang ia dapat hanya akan berarti jika dipakai untuk membangun negerinya sendiri.
Ketika kembali bekerja di ISRO, ia menunjukkan kecerdikannya lagi dengan
memperoleh peralatan senilai ratusan juta pound dari Skotlandia tanpa biaya apa pun. Namun
perjalanan tidak mudah. Setelah kematian Vikram Sarabhai yang penuh tanda tanya, dukungan
terhadap proyek Nambi berkurang dan pemerintah tidak memiliki dana yang cukup. Situasi itu
membuatnya mencari jalan lain agar pengembangan mesin roket tetap berjalan.
Nambi kemudian menjalin kerja sama dengan komunitas ilmiah Prancis. Prancis membutuhkan
ilmuwan berbakat untuk mengembangkan mesin bahan bakar cair, sementara India butuh teknologi
yang lebih maju untuk dikuasai. Sebelum berangkat, Nambi dan lima puluh dua rekannya belajar
bahasa Prancis secara diam diam tetapi berpura pura tidak memahaminya ketika tiba di laboratorium.
Upaya itu mereka lakukan agar dapat mengetahui isi rapat penting yang tidak pernah mereka
diundang.
Dalam pengamatan mereka, tim Nambi menyadari mesin roket
Prancis memiliki cacat yang berisiko. Ia menggunakan temuan itu sebagai kesempatan. Ia
menawarkan perbaikan dengan syarat mereka diberi akses penuh terhadap data uji dan mekanisme
mesin. Mereka pun mendapat izin. Setelah membantu memperbaiki mesin, rombongan ilmuwan India
membawa pulang pengetahuan tersebut dan mulai mengembangkan mesin bahan bakar cair mereka
sendiri.
Keterbatasan dana dan fasilitas membuat proses itu berlarut larut
sampai delapan tahun. Namun kerja keras mereka terbayar ketika mesin itu diuji di fasilitas Prancis
yang sama. Hasilnya melampaui ekspektasi. Mesinnya mencapai tekanan jauh di atas standar.
Dengan bangga Nambi menamainya VIKAS sebagai penghormatan terakhir untuk Sarabhai.
Setelah keberhasilan itu, fokus Nambi beralih ke pengembangan mesin kriogenik. Ia
yakin teknologi ini akan membawa India menjadi negara yang mampu bersaing dalam pasar satelit
global. Ia menyadari ISRO tidak memiliki waktu panjang untuk mengejar ketertinggalan sehingga
membeli mesin dari negara lain menjadi jalan tercepat. Pilihannya jatuh pada Uni Soviet setelah ia
memberi sinyal bahwa ia memahami kemampuan rudal kriogenik mereka melalui informasi dari teman
lamanya di Princeton.
Uni Soviet setuju memberikan empat mesin. Namun
kabar itu sampai ke Amerika yang berusaha keras menggagalkan kesepakatan tersebut. Ketika Uni
Soviet berada di ambang keruntuhan politik, Nambi memanfaatkan kekacauan untuk mempercepat
proses pengiriman. Dengan bantuan ilmuwan Rusia, ia dan rekan rekannya berhasil membawa pulang
beberapa mesin tanpa terdeteksi.
Setibanya di India, kehidupan Nambi tampak
kembali stabil sampai suatu hari ia ditangkap secara tiba tiba. Berita tentang dirinya menyebar cepat.
Tuduhan mata mata dan pengkhianatan dilemparkan ke publik tanpa bukti jelas. Ia dibawa ke sebuah
rumah tamu di Trivandrum yang disulap menjadi ruang interogasi. Di sana ia disiksa, dipukul, dan
dipaksa membuat pengakuan palsu. Di sela sela rasa sakit, Nambi menyadari bahwa pihak yang
menangani kasus ini berusaha membuatnya mengulangi kalimat yang mereka ucapkan. Ia juga
menemukan adanya alat perekam tersembunyi.
Tuduhan yang diarahkan
kepadanya melibatkan seorang perempuan asal Maladewa bernama Mariam. Nambi disebut menjadi
korban perangkap perempuan itu dan kemudian menjual rahasia roket India ke Pakistan. Tuduhan itu
menyebar liar dan merusak nama baik keluarganya.
Setelah luka fisiknya
semakin parah, ia dilarikan ke rumah sakit. Di tempat itulah ia bertemu P. M. Nair, seorang pejabat CBI
yang mulai menyelidiki kasus tersebut. Penyelidikan itu perlahan membuka banyak kejanggalan.
Namun sementara kebenaran mulai terungkap, Nambi masih harus berhadapan dengan dampak dari
fitnah yang menghancurkan hidupnya. Di tengah tekanan dan rasa sakit itu, akankah langkah
berikutnya membawa Nambi pada pemulihan harga diri dan kebenaran yang telah lama ia
perjuangkan?
Penulis artikel: Abdilla Monica Permata B.