Hari Film Nasional, Ada Apa Dengan Film Kita?

Hari Film Nasional, Ada Apa Dengan Film Kita? Ilustrasi

Kapanlagi.com - Oleh: Rita SugihardiyahDi penghujung akhir Maret ini, ada satu hari yang mengingatkan kita dengan tontonan layar lebar. Ya, hari ini adalah hari adalah Hari Film Nasional yang diperingati setiap tanggal 30 Maret. Selintas melihat ke belakang, film Nasional lahir pada 30 Maret 1950 bersamaan dengan pengambilan gambar film DARAH DAN DOA (LONG MARCH OF SILIWANGI). Film ini dianggap film yang sangat Indonesia, mulai dari keaslian cerita, sutradara dan produser juga dibidani orang pribumi (Usmar Ismail). Mengutip dari Wikipedia, DARAH DAN DOA berkisah tentang perjalanan panjang (long March) perajurit divisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan di Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Belanda lewat Aksi Polisionil. Rombongan prajurit dan keluarga yang menempuh perjalan dari Yogya - Siliwangi ini dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Selain menyuguhkan aksi heroik, film hitam putih ini juga mengangkat sisi Kapten Sudarto dengan sangat manusiawi. Sang kapten juga terlibat cinta dengan salah satu pengungsi berdarah Indo-Belanda. Mungkin para Insan perfilman saat ini boleh berbangga karena DARAH DAN DOA adalah film yang sangat Indonesia, tanpa campur tangan asing, digarap dan didistribusikan oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), para pemainnya pun bukan pemain profesional, ide cerita juga digarap sendiri oleh Umar Ismail dan Sitor Situmorang, semua khas Indonesia dengan ide cerita sederhana tapi cukup berbobot di jamannya. DARAH DAN DOA adalah tonggak film yang mengena di hati publik pada zamannya, dan seharusnya film ini bisa jadi teladani insan perfilman kita saat ini, agar Hari Film Nasional lebih bermakna. Coba kita lihat, perfilman nasional saat ini, sejak Motion Picture Assosiation of America (MPAA) memutuskan menyetop pendistribusian film Amerika per 17 Februari 2011, bisnis bioskop jadi terancam. Penonton lokal galau dengan kenyataan ini, karena rasa percaya dan kebanggaan diri atas film nasional meluntur. Tentu tak bisa disalahkan, jika bioskop-bioskop saat ini lebih banyak menayangkan film-film kurang cerdas dan kurang layak tonton. Seharusnya 'momen diamnya' film impor ini bisa dijadikan momentum insan film untuk membuat film yang berkualitas, mendidik, agar penonton lokal tak ketagihan film-film berbudaya luar yang membuat film lokal tak lagi punya 'rumah' sendiri. Momentum hari film Nasional ini, sudah selayaknya bisa jadi penggerak insan film dan pemerintah (dengan regulasi pajaknya), untuk bisa duduk bersama dan berpikir tentang masa depan film lokal. Film bisa membangun karakter bangsa, film juga bisa menjadi wadah mencetak publik yang cerdas, tapi apa jadinya jika film lokal lebih banyak bicara hantu dan komedi saru yang semakin membuat publik berpikiran kerdil, ngeres, dan penakut. Sungguh sangat mengerikan jika ini terjadi di film nasional kita! 

(Update terbaru Ammar Zoni, bakal dipindah dari Nusakambangan ke Jakarta.)

(kpl/rit)

Rekomendasi
Trending