Achmad Megantara Bicara Soal Ritual Wajib Selama Syuting Hingga Tantangan Emosi
Achmad Megantara (KapanLagicom/Adrian Utama Putra)
Kapanlagi.com - Film AIR MATA MUALAF telah menyapa penonton di bioskop pada 27 November 2025 lalu. Dibintangi oleh Acha Septriasa dan Achmad Megantara, film ini menghadirkan cerita emosional yang dekat dengan realita kehidupan, sekaligus menawarkan pengalaman akting yang menantang bagi para pemainnya. Mengusung pendekatan drama yang kuat, proyek ini menjadi salah satu film yang paling ditunggu tahun ini berkat tema dan karakter yang penuh dinamika batin.
Dalam sesi wawancara eksklusif bersama KapanLagi, Megantara berbagi cerita mengenai proses pendalaman karakter, tantangan emosi yang harus ia hadapi di lokasi syuting, pandangannya soal hubungan dan cara seseorang mengekspresikan kasih sayang hingga self reward.
Baca artikel terbaru Achmad Megantara di Liputan6.com
Advertisement
1. Diam yang Kadang Jadi Bentuk Sayang
Dalam perbincangan terkait sikap seseorang ketika menghadapi konflik, Megantara justru menyoroti sisi yang jarang dibahas bahwa perhatian tidak selalu hadir dalam bentuk kata-kata manis. Ia menilai, ada kondisi tertentu di mana diam justru menjadi pilihan yang paling penuh kasih, terutama ketika komunikasi verbal malah memperburuk situasi. Menariknya, penjelasan panjang ini datang setelah ia lebih dulu menegaskan bahwa ia seorang wibu dan ia merasa perlu meluruskan definisinya.
"Gue seorang wibu, langsung disclaimer gue seorang wibu. Gue mau disclaimer lagi, tapi wibu itu adalah orang yang menyukai budaya Jepang. Bukan yang, kayak fanatik atau maniak dengan kayak anime atau Jepang-Jepangan kayak gitu, itu ada lagi namanya otaku. Kalau wibu adalah orang yang suka sama budaya Jepang. Jadi, ada sebuah anime sih, ada sebuah anime yang gue tonton itu, dia itu sempat kayak ngomong gini, dia itu lebih kayak, bukan melukai ya, jadi kayak seakan-akan kekurangannya itu dibahas, kayak gitu. Kekurangannya dibahas supaya tujuannya dia itu tercapai, tujuannya apa? Dia itu ngomong kekurangannya itu orang, supaya itu orang tetap nggak jalan ke arah yang lebih bahaya, dan gue setuju itu, kenapa? Karena kadang itu orang itu ada yang bilang, harus dikerasin, harus dikerasin, kayak gitu. Tapi buat gue, kekerasan itu bukan berarti pakai tangan, atau fisik, lah. Kadang kita itu mungkin ada butuh kalimat yang nyelekit, supaya orang yang kita maksud itu lebih ke arah sadar. Supaya dia sadar, lo jangan ke arah sana karena itu ke arah yang lebih berbahaya. Dan itu mungkin adalah rasa cinta, kasih, atau sayang, tapi output-nya salah, tapi mungkin niatnya benar dan tujuannya benar."
(Update terbaru Ammar Zoni, bakal dipindah dari Nusakambangan ke Jakarta.)
2. Adegan Emosional Lebih Melelahkan daripada Adegan Fisik
Ketika membahas dunia akting, Megantara memberikan gambaran lebih dalam mengenai proses kreatif yang jarang dilihat penonton. Menurutnya, adegan emosional menuntut energi yang lebih besar dibandingkan adegan fisik. Ia memandang film sebagai potongan kehidupan nyata, sehingga seorang aktor perlu memberikan emosi yang otentik agar penonton benar-benar bisa merasakan intensitas sebuah momen.
Penjiwaan itu, menurutnya, memerlukan upaya untuk menyelami rasa kehilangan atau kesedihan yang seolah benar-benar terjadi dalam kehidupan karakter. Proses tersebut bisa menguras energi karena aktor harus mengakses lapisan emosi yang lebih dalam dan personal. Ketika membahas dunia akting yang ia tekuni, Megantara memberikan gambaran yang lebih dalam tentang bagaimana seorang aktor bekerja di balik layar. Baginya, akting bukan sekadar berpura-pura, tetapi usaha maksimal untuk menghadirkan rasa yang benar-benar nyata dan proses menuju kejujuran rasa itu tidak pernah mudah.
"Jadi gini, film atau scene itu adalah sebuah potongan yang biasanya itu kita ambil dari kehidupan nyata. Bahkan kadang kalau kita nonton film aja kita ngerasa, wah relate nih sama gue, gue pernah ngalamin yang kayak gini. Atau enggak, wah ini film gue banget nih, kayak gitu. Jadi sebenarnya, film itu juga seperti dunia nyata tapi dengan cerita yang fiksi. Dan kami para aktor, ketika memerankan itu, filosofi atau analogi hidup kita itu lebih ke gini. Aktor itu memang, wah ini kan bohongan, ini kan begini. Iya memang, secara cerita itu bohongan tapi dalam dunia aktingnya, bagaimana cara kita memberikan akting yang sejujur-jujurnya. Karena kalau kita akting bohong, ya itu nggak akan sampai ke penonton rasanya. Kita berusaha untuk memberikan rasa yang nyata, rasa yang real. Nah, untuk memberikan rasa yang real itu kan enggak gampang jadi kita benar-benar harus, diri kita sendiri kita harus reach dulu sampai ke emosi yang mau kita berikan. Let's say, adegannya itu benar-benar dramatis banget gitu. Misalkan kayak, dapet adegan yang pasangannya meninggal atau dapet orang tuanya meninggal. Itu kalau cuma kita ngerasa, kita syuting, lawan main kita ���¢�¯�¿�½�¯�¿�½ceritanya���¢�¯�¿�½�¯�¿�½ meninggal, ya kita masih sampai di tahap itu gitu sih kayak, ah sedih apa, gitu. Tapi kalau benar-benar kita nge-feel, kita masuk ke dalam karakter, orang tua atau pasangannya itu karakter meninggal, itu kita feel lagi. Jadi karakter itu kalau misalkan menghadapi kejadian seperti itu, dia itu akan kayak gimana sih sedihnya, nangisnya atau apanya, kayak gitu. Mungkin ada orang yang benar-benar output-nya nangisnya, benar-benar wah nangis gitu. Tapi ada orang misalkan karakter itu ternyata dia lebih ke arah ke dalam, lebih ke batin. Sedih banget kayak benar-benar gue nggak bisa nih gue nih ngalamin hal kayak gini, apa, deep, dalam, emosional tuh benar-benar lebih kena sih capeknya dibanding yang harus fisik, kayak gitu."
3. Kenalan Belum Tentu Membuat Syuting Lebih Mudah
Megantara juga membahas tentang dinamika dengan lawan main. Banyak yang mengira bekerja dengan orang yang sudah dikenal akan otomatis lebih mudah, namun baginya hal itu tidak sesederhana itu. Ia menilai, proses kerja justru lebih bergantung pada keterbukaan komunikasi, bukan sekadar hubungan sosial.
Berbeda dari asumsi banyak orang, Megantara mengungkapkan bahwa bekerja sama dengan aktor yang sudah dikenal tidak otomatis membuat proses syuting lebih mudah. Menurutnya, yang paling menentukan adalah seberapa terbuka lawan main dalam membangun komunikasi dan membahas naskah bersama. Ia menekankan bahwa hubungan profesional membutuhkan keterhubungan dua arah. Jika lawan main cenderung tertutup, proses menyamakan interpretasi dan ritme akting bisa menjadi sulit meski sudah saling mengenal sebelumnya.
"Kenal doang, kan? Kalau cuma kenal kan maksudnya kan, oh yaudah kenal gitu. Tapi kita nggak deket atau nggak tau background, apa semua segala macem. Jadi gimana ya ngejelasinnya, ya? Enggak, bukan bicara tentang lawan main ya, bukan. Lebih ke kita misalkan cuma tau orangnya doang tapi kita nggak tau secara kebiasaannya atau apa. Itu mungkin juga, kan kalau gue lebih seneng ketika ketemu lawan main yang open minded, lebih terbuka. Jadi kalau untuk bahas masalah skenario, set, dan apapun itu connect, kayak gitu. Tapi kan ada juga orang yang lebih tertutup, dia lebih seneng dengan dirinya sendiri, terus mungkin nggak suka bahas skenario atau apa, dia lebih suka untuk memikirkan sendiri. Jadi itu kan agak susah juga, karena pada dasarnya kita manusia kan makhluk sosial yang butuh berkomunikasi.���¢�¯�¿�½�¯�¿�½
4. Ngopi Jadi Rutinitas Megantara Setiap Pagi
Di balik kesibukan syuting, Megantara memiliki satu kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum masuk set, yaitu minum kopi. Baginya, ritual ini bukan hanya soal kafein, tetapi juga bagian dari kesiapan mental sebelum memulai aktivitas panjang.
Ia mengakui bahwa rutinitas ini sudah ia jalani sejak awal karier, bahkan sampai sekarang tetap tidak bisa dilewatkan. Tanpa kopi, ia merasa tubuh dan pikirannya belum ���¢�¯�¿�½�¯�¿�½menyala���¢�¯�¿�½�¯�¿�½.
"Wah, agree banget. Ngopi. Dua, tiga, karena itu ritual gue setiap syuting dari zaman dulu sampai sekarang. Wajib pagi. Wajib pagi, yang penting kayak perut udah keisi, terus habis itu langsung ngopi, bahkan juga kadang kalau belum keisi perut udah ngopi. Gue kalau nggak ngopi itu kayak tombol TV itu kayak belum di on-in, gitu."
5. Self Reward Versi Megantara
Sebagai penutup, Megantara menyinggung pentingnya memberi penghargaan pada diri sendiri, bahkan dalam bentuk yang sederhana. Ia memandang self reward bukan hanya belanja atau liburan, tapi bisa berupa waktu bersama teman atau sekadar menikmati suasana luar rumah.
Ketika berbicara tentang self reward, pandangan Megantara cenderung membumi. Ia menganggap hal-hal sederhana seperti nongkrong atau jajan sudah cukup jadi bentuk penghargaan untuk diri sendiri. Bagi Megantara, hal-hal kecil seperti nongkrong, ngopi, atau jajan bisa membantu menjaga kondisi mental tetap stabil di tengah jadwal syuting yang padat.
"Sekedar nongkrong, itu nggak tau ya, mungkin buat orang mungkin juga nggak setuju kali, ya? Kalau buat gue, nongkrong itu lumayan self reward. Self reward itu kan nggak harus berarti lo beli something, gitu. Sekedar lo ketemu temen lo, beli kopi, lo beli makan, atau jajan aja di luar itu kayaknya udah lumayan self reward gitu, jadi bisa naikin mentality."
(Hari patah hati se-Indonesia, Amanda Zahra resmi menikah lagi.)
Berita Foto
(kpl/fna)
Advertisement
