Putu Wijaya Mainkan Monolog Untuk Almarhum Gus Dur
Diterbitkan:

Kapanlagi.com - Seniman serba bisa Putu Wijaya memainkan monolog di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jumat (23/4) malam, untuk memperingati 100 hari wafatnya Gus Dur.
Putu Wijaya membagi pementasan monolognya dalam tiga babak dengan lakon yang berbeda, yakni Empu, Poligami, dan Merdeka, namun ketiganya dirangkai dalam satu pementasan yang apik.
Putu Wijaya
Udara di dalam ruang Gedung Ki Narto Sabdo TBRS yang panas dan dukungan pencahayaan yang seadanya tak menghalangi Putu untuk meluapkan ekspresi dan kebolehannya di atas panggung.
Tak jarang Putu berimprovisasi dengan mengajak penonton naik ke panggung untuk menemaninya bermonolog, dan hal itu diakuinya untuk membuat penonton dan objek tontonannya menjadi lebih 'mesra'.
Dalam lakon monolognya yang berjudul Poligami, ia justru 'menggoda' penonton dengan satu cerita tentang Siti, seorang perempuan yang merasa iri dengan yang dimiliki kaum laki-laki, sehingga ingin menjadi laki-laki.
Impian Siti akhirnya terwujud dengan menjadi seorang laki-laki dan dia menjalani hidup layaknya lelaki. "Semua hal yang dilakukan laki-laki, dilakukan juga oleh Siti," kata ungkap Putu Wijaya pada penonton.
Namun, kehidupan Siti sebagai seorang laki-laki ternyata tak seperti yang dibayangkannya selama ini, sebab perjalanan hidup Siti tak mulus dan harus menemui banyak rintangan yang menyebabkan Siti akhirnya menyesal.
Menurut Putu yang ditemui usai pementasan, hal tersebut merupakan penggambaran selama ini banyak perempuan yang memperjuangkan hak-haknya justru terjebak dengan keinginan berperan sebagai laki-laki.
"Kalau ingin memperjuangkan hak-hak, jadilah seorang perempuan sejati dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki perempuan, jangan justru ingin menjadi seperti laki-laki," katanya.
Ditanya tentang kaitan pemilihan lakon itu dengan momentum Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April, ia mengaku tidak memikirkan sampai sejauh itu, namun kalau memang ingin dikaitkan cukup relevan.
"Apalagi, selama ini peringatan Hari Kartini hanya identik dengan kebaya, sanggul, dan kain jarik. Padahal ada yang lebih berarti dari itu, yakni cita-cita Kartini untuk mencerdaskan kaum perempuan," katanya.
Menurut sutradara, penulis, dan pemain teater itu, pementasannya kali itu merupakan 'kado' bagi Gus Dur (alm), sekaligus mengenang WS Rendra yang merupakan tokoh-tokoh fenomenal dan berani berpikiran beda.
"Saya tidak ingin masyarakat hanya mengenang sosoknya, karena yang terpenting adalah pemikiran-pemikiran mereka semasa hidup yang sangat berharga," kata pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya itu.
Banyak pemikiran Gus Dur yang diwariskan, seperti pluralisme, perjuangan atas hak-hak perempuan, dan kebangsaan, kata dia, demikian pula Rendra yang kerap melontarkan kritik pedas untuk pemerintah.
"Mereka tidak memperjuangkan pemikiran dengan 'tangan terkepal', namun hanya lewat kekuatan kata-kata. Itu menunjukkan bahasa memiliki kekuatan dan posisi sangat penting," kata Putu.
Monolog bertajuk 'Road Show Empu: Pluralisme dalam Kehidupan dan Kreativitas' itu merupakan pementasan kedua Putu dalam rangkaian monolog di tiga kota, yakni Malang, Semarang, dan Magelang.
(Lesti sedang hamil anak ketiga, dan saat ini sedang ngidam hal yang di luar nurul!)
(ant/bun)
Anton
Advertisement
-
Video Kapanlagi V1RST (LIVE PERFORMANCE) - KAPANLAGI BUKA BARENG FESTIVAL 2025