Pernikahan Seumur Jagung Selebriti (3)

Bibit Bebet Bobot, Resep Ampuh Hadapi Pernikahan Seumur Jagung

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diperbarui: Diterbitkan:

Bibit Bebet Bobot, Resep Ampuh Hadapi Pernikahan Seumur Jagung KapanLagi.com®

Kapanlagi.com - Cap kalangan selebriti mudah kawin cerai sepertinya bukan isapan jempol. Tak hanya dialami pasangan yang telah lama menjalankan rumah tangga, tapi juga pasangan yang usia pernikahannya seumur jagung. Beragam sebab keretakan pasangan juga muncul.
Terakhir, pasangan yang gonjang-ganjing bakal berada di meja sidang Pengadilan Agama adalah Andi Soraya dan Rudy Sutopo, serta Ayu Ting Ting dengan Enji. Padahal saat awal memulai kehidupan baru, kedua pasangan artis tersebut tampak bahagia.
Uniknya, para suami kedua pasangan itu bukan dari kalangan selebriti. Sementara kedua perempuan sudah tak asing wara-wiri di
media hiburan. Seperti diketahui, suami Andi Soraya adalah pengusaha yang berstatus duda. Sedangkan Enji adalah pengusaha berstatus lajang.
Lantas kenapa keretakan rumah tangga mereka terjadi? Apakah karena ada pihak ketiga atau sebab kurang lama mengenal satu sama
lain? Atau hal lain di luar itu? Adakah semua keterkaitan itu dapat menimbulkan cerai?
Psikolog Kasandra Putranto menilai, pada dasarnya setiap pasangan dengan latar belakang apapun dapat bertahan dalam menjalankan
rumah tangga, asalkan memiliki tujuan dan komitmen bersama. Namun bila mengalami perubahan maka bakal muncul persoalan yang dapat berkembang sampai jauh jika masing-masing masih tetap dengan sikapnya.
"Suami-istri menikah dengan berbagai latar belakang, aspek yang sama atau berbeda, namun dengan tujuan dan komitmen yang sama.
Ketika tujuan dan komitmen berubah, tentu saja sangat mudah menimbulkan konflik yang mengancam keutuhan keluarga. Apalagi jika
diwarnai oleh sikap egois dan kekanak-kanakan," katanya.
Karena itu ia juga tak dapat menilai pemicu yang ada dalam rumah tangga yang berpaut jauh usia. Seperti diketahui Andi Soraya
dan Rudy Sutopo berbeda umur hingga 17 tahun.
"Kita tidak bisa memberikan penilaian atas kasus ini, karena kita tidak tahu persis apa yang benar-benar terjadi. Pada dasarnya
kualitas hubungan suami-istri tentu harus memberikan kenyamanan yang berimbang bagi suami dan istri," ucapnya lagi kepada
KapanLagi.com®.
Kasandra pun mencontohkan kenyamanan berimbang bagi suami istri. "Keinginan suami agar istri mengurus rumah tangga tentu wajar
dan dapat dipahami tetapi melarang istri bekerja dan membatasi pergaulannya dapat dianggap sebagai tindakan ketidaksetaraan
gender. Kemungkinan kondisi ini sudah diketahui sejak awal namun diabaikan," sambungnya, Sabtu (9/11).
Juga dengan perbedaan usia yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pemicu persoalan dalam rumah tangga. Menurutnya hal
tersebut sebenarnya tak terkait sebagai sebab kekisruhan. Karena masalah yang timbul pada suami istri lebih kepada mental dan
kedewasaan seseorang.
"Usia fisik tidak berbanding lurus dengan usia mental dan kedewasaan. Secara fisik perbedaan usia memang 15 tahun, tetapi usia
mental bisa jadi lebih kecil atau lebih besar," ujarnya.
Karena itu Kasandra menilai pasangan yang akan langgeng dalam berumah tangga adalah pasangan yang mampu menerima perbedaan di
antara mereka. Bahkan pisah ranjang tidak dapat dijadikan solusi jika tak mempunyai tujuan.
"Kunci mengatasi perbedaan hanyalah penerimaan. Seberapapun berbeda pasangan kita, selama kita menerima perbedaan tersebut,
tentu tidak akan menjadi masalah. Kalau pun pisah rumah untuk selesaikan, tergantung tujuan pisah rumah itu apa. Pisah rumah
tanpa melakukan intervensi justru akan menimbulkan dampak yang lebih besar," tuturnya.
Maka dari itu, ia menyarankan intervensi mutlak diperlukan pasangan suami isteri yang tengah menghadapi masalah. Selain itu tentu dikembalikan pada komitmen masing-masing.
"Temui ahli dan konselor pernikahan untuk melakukan penyesuaian dan memperoleh intervensi yang diperlukan. Sehingga selama
masing-masing berkenan kembali kepada komitmen awal, tentu pernikahan bisa diselamatkan," jelasnya.
Sementara itu Idra Noveldy, seorang Coach Relations dan penulis buku best seller Menikah Untuk Bahagia, mengatakan tidak
menjamin usia pacaran dapat mengenal masing-masing pribadi sebelum menikah. Apalagi jika tak disertai dengan pengetahuan
mengenai pernikahan itu sendiri.
"Banyak orang berpikir bila dalam masa pacaran itu adalah masa untuk mengenal pasangan kita. Namun pada prakteknya, tidak terjadi pengenalan secara mendalam terhadap pasangan yang akan berumah tangga. Pengenalan yang terjadi hanya sebatas pada fisik semata. Sementara hal-hal seperti karakter, latar belakang pasangan, tidak mereka dalami dalam masa pengenalan itu. Satu hal lagi, mereka jarang sekali membaca buku-buku atau mengikuti konsultasi untuk mendapatkan masukan tentang menikah itu sendiri. Ini patut disayangkan, sebab lahirnya mereka seperti tidak saling mengenal setelah menikah," tuturnya, Senin (11/11).
Selain itu, pemilihan pasangan dengan mengedepankan tiga B, alias bibit, bebet, bobot, yang dulu digadang-gadang orang tua, sebenarnya cukup ampuh untuk menilai siapa pasangan tersebut.
"Dahulu sebenarnya ada pelajaran yang penting yang sering dikatakan oleh orangtua kita dalam memilih pasangan. Kalau kita lihat orang tua kan sangat memperhatikan istilah bibit, bebet, bobot. Itu adalah hal yang tradisionil namun tak lekang, dan dapat diterapkan di berbagai zaman," sambungnya.
Karena, lanjut Indra, tiga B sendiri dapat memberi poin bagi pasangan untuk menilai. Namun sayangnya, hal tersebut kini jarang
dilakukan. Maka dari itu tak heran bila dalam waktu sebentar pasangan merajut rumah tangga.
"Hal ini sendiri kan menyangkut beberapa point seperti bibit bobot bebet. Itu kan erat kaitannya dalam menilai point perilaku di
masa lalunya. Kemudian bagaimana karakternya, bagaimana ahlaknya. Ini yang menurut saya sangat jarang diperhatikan oleh banyak
anak muda sekarang ketika mereka akan berumah tangga," katanya.
Pasalnya, perilaku masa lalu yang terkait dengan pasangan dapat berdampak sama dalam berumah tangga nantinya. "Misalnya begini,
jika seseorang memiliki latar belakang dari keluarga broken home, mungkin secara otomatis apa yang dialami olehnya di masa
lalu itu akan terekam di alam sadarnya. Kecuali jika ia mampu menangani dan menyelesaikan hal-hal yang pernah terekam itu dan
tidak mempraktekannya," terangnya.
Di sisi lain, peran orang tua dalam menilai pasangan anaknya sebaiknya dibatasi. Terutama jika si anak telah menentukan pilihan
pasangan hidupnya. Pengecualian baru dapat dilakukan apabila si anak masih belum dewasa dalam berhadapan dengan persoalan rumah
tangga.
"Orang tua yang bijak itu harus mengerti apa yang menjadi pilihan anaknya dan orang tua yang bijak tidak boleh mencampuri urusan
dalam keluarga anak pasca si anak menikah. Kecuali jika si anak kurang dewasa dalam menghadapi permasalahan yang dialami dalam
kehidupan rumah tangganya," ucapnya.

(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)

(kpl/rod/dis/dew)

Rekomendasi
Trending