Nama Asli Sunan Kudus: Ja'far Shadiq, Wali Penyebar Islam di Tanah Jawa
nama asli sunan kudus (c) Ilustrasi AI
Kapanlagi.com - Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Nama asli Sunan Kudus adalah Ja'far Shadiq, seorang ulama yang dikenal karena pendekatan dakwahnya yang toleran dan bijaksana.
Beliau lahir pada 9 September 1400 Masehi dan menjadi salah satu anggota Wali Songo yang berperan besar dalam islamisasi Pulau Jawa. Gelar "Sunan Kudus" diperoleh karena beliau memilih Kota Kudus sebagai pusat dakwah utamanya selama bertahun-tahun.
Mengutip dari buku Tradisi & Kebudayaan Nusantara oleh Sumanto Al Qurtuby dan Izak Y.M. Lattu, Sunan Kudus adalah putra dari Sunan Ngudung atau Usman Haji dengan Syarifah, yang merupakan cucu Raden Rahmat (Sunan Ampel). Beliau dikenal sebagai sosok yang memiliki toleransi tinggi terhadap keberagaman agama dan budaya di zamannya.
Advertisement
1. Asal Usul dan Silsilah Nama Asli Sunan Kudus
Nama asli Sunan Kudus secara lengkap adalah Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama leluhurnya, yaitu Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memiliki silsilah yang terhubung langsung dengan keluarga Nabi Muhammad SAW.
Menurut catatan dalam Ensiklopedia Karya Ulama Nusantara oleh A. Said Hasan Basri, silsilah Sunan Kudus dari jalur laki-laki menunjukkan bahwa beliau adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW. Ayahnya, Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung, pernah menjadi Senopati Kerajaan Demak dan imam Masjid Agung Demak. Ketika ayahnya gugur dalam pertempuran melawan Majapahit, Sunan Kudus menggantikan posisinya sebagai panglima perang.
Ibu Sunan Kudus adalah Syarifah Dewi Rahil, putri dari Sunan Bonang. Dengan demikian, beliau merupakan cucu dari Sunan Bonang dan memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan para Wali Songo lainnya. Melansir dari buku Tradisi & Kebudayaan Nusantara, terdapat versi lain yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil, putri Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan dikaruniai anak lelaki bernama Amir Hasan.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sunan Kudus juga menikah dengan putri Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit dan dikaruniai delapan anak. Keempat anaknya, yaitu Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati, dan Pangeran Sujoko, dimakamkan di kompleks makam Sunan Kudus di belakang Masjid al-Aqsha Menara Kudus.
2. Perjalanan Hidup dan Pendidikan Ja'far Shadiq
Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus menempuh pendidikan agama yang komprehensif sejak usia muda. Beliau banyak berguru pada Sunan Kalijaga dan juga belajar dari tokoh-tokoh ulama terkemuka lainnya seperti Sunan Ampel, Kiai Telingsing, dan Ki Ageng Ngerang. Pendidikan yang mendalam ini menjadikan beliau dikenal dengan gelar "wali al-ilmi" karena penguasaannya yang luar biasa terhadap berbagai cabang ilmu agama.
Sunan Kudus menguasai ilmu tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika dengan sangat baik. Keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu ini membuatnya menjadi rujukan bagi para ulama dan masyarakat pada zamannya. Beliau juga pernah melaksanakan ibadah haji dan singgah di Baitul Maqdis (al-Quds) untuk mendalami ajaran Islam.
Mengutip dari Tradisi & Kebudayaan Nusantara, ketika Sunan Kudus berada di Baitul Maqdis, terjadi wabah penyakit mematikan yang berhasil diberantasnya dengan cara non-medis. Atas jasanya tersebut, Amir Palestina yang menjadi gurunya memberikan wewenang untuk menempati daerah di Palestina, yang kemudian dipindahkan konsepnya ke Kudus, Jawa Tengah.
Pulang dari tanah suci, Sunan Kudus membawa batu prasasti berbahasa Arab tertanggal 956 H (1549 M) yang kemudian dipasang di mihrab Masjid Menara Kudus. Prasasti tersebut menjadi bukti otentik tentang pendirian masjid dan peran Sunan Kudus dalam pembangunan pusat keagamaan di Kudus.
3. Strategi Dakwah dan Pendekatan Kultural
Sunan Kudus terkenal dengan strategi dakwahnya yang unik dan toleran. Beliau menggunakan pendekatan kultural yang menghargai tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat, kemudian secara perlahan memasukkan nilai-nilai Islam tanpa menimbulkan konflik atau penolakan. Pendekatan ini sangat efektif mengingat mayoritas masyarakat Kudus pada saat itu masih menganut agama Hindu dan Buddha.
Salah satu strategi dakwah yang paling terkenal adalah pembangunan Masjid Menara Kudus yang bentuknya menyerupai candi Hindu. Menara dengan ketinggian 18 meter ini dibangun dengan gaya arsitektur yang familiar bagi masyarakat Hindu-Buddha, sehingga mereka tidak merasa asing dan lebih mudah menerima kehadiran Islam. Bentuk menara ini melambangkan akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam.
Sunan Kudus juga menerapkan kebijakan larangan menyembelih sapi sebagai bentuk penghormatan terhadap kepercayaan umat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Dalam cerita rakyat disebutkan bahwa beliau pernah menambatkan sapi yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman Masjid Menara Kudus untuk menarik perhatian umat Hindu agar masuk ke masjid dan mendengarkan dakwahnya.
Pendekatan lain yang dilakukan adalah pembuatan tempat wudhu (padasan) dengan delapan pancuran, yang dalam ajaran Buddha dikenal sebagai asta sanghika marga (delapan jalan utama yang benar). Hal ini menunjukkan kepekaan Sunan Kudus terhadap simbol-simbol keagamaan yang sudah dikenal masyarakat, kemudian mengadaptasinya dalam konteks Islam.
4. Warisan dan Peninggalan Sunan Kudus
Sunan Kudus meninggal dunia pada tahun 1550 M dan dimakamkan di kompleks Masjid Menara Kudus. Makamnya berukuran panjang 225 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 40 cm, dengan batu nisan setinggi 68 cm dan lebar 14 cm. Kompleks makam ini hingga kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.
Masjid al-Aqsha atau Masjid Menara Kudus yang didirikan Sunan Kudus memiliki luas 1.723,84 m² di lahan seluas 6.325 m². Kompleks masjid ini dilengkapi dengan dua gapura kembar bergaya Hindu di serambi luar, yang awalnya berfungsi sebagai benteng pelindung masjid pada era kewalian. Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi pada tahun 1919, 1933, 1976, dan 1978.
Menurut penelitian arkeolog Jepang Sakai Takashi dan Takimoto Tadashi pada 28 Agustus 2008, beberapa keramik yang menempel di menara berasal dari pabrik keramik Vietnam abad ke-14 hingga 15. Keramik berbentuk segi empat berwarna dasar putih dengan motif bunga di bagian tengah yang sedikit kebiruan ini merupakan yang berusia paling tua di antara keramik-keramik lainnya.
Kota Kudus sendiri didirikan oleh Sunan Kudus bersama Kiai The Ling-Seng, seorang ahli lukis dari Dinasti Sung Yunan, Tiongkok Selatan. Keberadaan komunitas Tionghoa muslim di Kota Kudus sudah ada sejak abad ke-15 M, yang ditandai dengan adanya Kelenteng Hok Ling Bio di Desa Langgar Dalem yang dibangun lebih dulu daripada Masjid Menara Kudus.
5. Pengaruh Sunan Kudus dalam Sejarah Islam Nusantara
Pengaruh Sunan Kudus tidak hanya terbatas pada wilayah Kudus, tetapi meluas ke berbagai daerah di Nusantara. Sebagai Senopati Kasultanan Bintoro Demak, beliau berperan penting dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam hingga ke Cirebon dan Madura. Kudus pada masa itu memiliki otonomi sendiri sebagai daerah perdikan yang bebas pajak dan upeti terhadap Demak.
Sunan Kudus menjadikan daerahnya sebagai pusat politik dan keagamaan yang penting. Banyak ulama dan santri yang datang untuk belajar darinya, sehingga Kudus menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Jawa. Metode dakwahnya yang toleran dan adaptif kemudian diadopsi oleh banyak da'i lainnya dalam menyebarkan Islam di berbagai wilayah Nusantara.
Dalam konteks sejarah yang lebih luas, nama asli Sunan Kudus yaitu Ja'far Shadiq menunjukkan hubungan spiritual dan intelektual dengan tradisi keilmuan Islam klasik. Nama ini juga mencerminkan harapan keluarga agar beliau menjadi sosok yang jujur (shadiq) dalam menjalankan misi dakwahnya, yang terbukti melalui berbagai pencapaian dan kontribusinya bagi perkembangan Islam di Nusantara.
6. Tradisi dan Budaya Khas Kudus
Warisan Sunan Kudus tidak hanya berupa bangunan fisik, tetapi juga tradisi dan budaya yang masih lestari hingga kini. Setiap tanggal 10 Muharram atau Syura, masyarakat Kudus mengadakan khoul atau perayaan tahunan untuk memperingati hari wafat Sunan Kudus. Acara ini dikenal dengan sebutan "buka luwur" yang diawali dengan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kudus berupa keris Cintoko.
Luwur adalah kain putih berukuran 1.600 meter yang berfungsi menutup makam dengan model seperti renda-renda. Luwur yang diganti dianggap bertuah oleh masyarakat, sehingga luwur lama dipotong-potong untuk dibagikan kepada warga Desa Kauman dan sekitarnya serta para peziarah. Selain itu, juga disediakan sego jangkrik yaitu bungkusan berisi nasi dan lauk yang dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara.
Tradisi lain yang masih bertahan adalah Mauludan atau perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awal yang dilaksanakan di setiap desa di Kudus. Khusus di Desa Padurenan, Kecamatan Gebog, terdapat tradisi Mauludan Jawiyan yang merupakan tradisi melantunkan sejarah Nabi SAW dengan membaca syair dari Kitab al-Barzanji dengan cengkok tinggi yang khas.
Kota Kudus hingga kini dikenal dengan julukan kota santri, industri, konveksi, dan kretek. Berbagai tradisi dan budaya khas yang ditinggalkan Sunan Kudus masih dilestarikan dan menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Kudus. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan warisan spiritual yang ditinggalkan oleh sosok yang bernama asli Ja'far Shadiq ini.
7. FAQ (Frequently Asked Questions)
Apa nama asli Sunan Kudus?
Nama asli Sunan Kudus adalah Ja'far Shadiq atau secara lengkap Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Nama ini diambil dari nama leluhurnya yaitu Ja'far ash-Shadiq yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Nabi Muhammad SAW.
Mengapa beliau disebut Sunan Kudus?
Beliau disebut Sunan Kudus karena memilih Kota Kudus sebagai tempat utama untuk menyebarkan ajaran Islam dan bermukim di sana selama bertahun-tahun. Nama "Kudus" sendiri diambil dari kata al-Quds yang berarti "yang suci" dalam bahasa Arab.
Siapa orang tua Sunan Kudus?
Sunan Kudus adalah putra dari Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung dengan Syarifah Dewi Rahil. Ayahnya pernah menjadi Senopati Kerajaan Demak, sedangkan ibunya adalah putri dari Sunan Bonang, sehingga Sunan Kudus merupakan cucu dari Sunan Bonang.
Kapan Sunan Kudus lahir dan wafat?
Sunan Kudus lahir pada tanggal 9 September 1400 Masehi dan wafat pada tahun 1550 M. Beliau dimakamkan di kompleks Masjid Menara Kudus yang hingga kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi.
Apa keunikan metode dakwah Sunan Kudus?
Sunan Kudus terkenal dengan metode dakwahnya yang toleran dan menggunakan pendekatan kultural. Beliau menghargai tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat, kemudian secara perlahan memasukkan nilai-nilai Islam tanpa menimbulkan konflik, seperti membangun masjid yang menyerupai candi dan melarang penyembelihan sapi.
Mengapa Masjid Menara Kudus berbentuk seperti candi?
Masjid Menara Kudus dibangun dengan bentuk menyerupai candi sebagai strategi dakwah Sunan Kudus untuk menarik masyarakat Hindu-Buddha agar tidak merasa asing dengan bangunan Islam. Bentuk ini melambangkan akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam dan memudahkan proses islamisasi masyarakat.
Apa warisan utama yang ditinggalkan Sunan Kudus?
Warisan utama Sunan Kudus meliputi Masjid Menara Kudus dengan arsitektur uniknya, kompleks makam yang menjadi tempat ziarah, berbagai tradisi keagamaan seperti khoul dan buka luwur, serta metode dakwah toleran yang menjadi teladan bagi para da'i hingga kini. Kota Kudus sendiri juga merupakan warisan beliau sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Tengah.
Ikuti kabar terbaru selebriti hanya di Kapanlagi.com. Kalau bukan sekarang, KapanLagi?
Yuk baca artikel lainnya
Berita Foto
(kpl/nlw)
Advertisement