Beberapa tahun kemudian Cheney memasuki dunia politik melalui magang di Gedung Putih pada masa pemerintahan Richard Nixon. Di bawah pengaruh Donald Rumsfeld ia belajar membaca ritme kekuasaan sambil tetap mencoba menyeimbangkan perannya sebagai suami dan ayah bagi Liz dan Mary. Dari percakapan rahasia tentang pemboman Kamboja yang ia dengar langsung antara Henry Kissinger dan Nixon, Cheney memahami apa makna kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya.

Ketika dinamika politik mengguncang kabinet setelah pengunduran diri Nixon, Cheney justru melesat. Ia menjadi Kepala Staf Gedung Putih di bawah Presiden Gerald Ford sementara Rumsfeld naik menjadi Menteri Pertahanan. Pada masa itu seorang penasihat muda bernama Antonin Scalia memperkenalkannya pada teori eksekutif tunggal yang kelak membentuk pandangan politiknya.

Setelah Ford kalah dalam pemilu, Cheney kembali ke Wyoming dan mencalonkan diri sebagai anggota Kongres. Ia jatuh sakit di tengah kampanye, tetapi Lynne mengambil alih panggung dan mengantarkan Cheney menang. Dari titik itu kariernya melaju. Pada masa pemerintahan Ronald Reagan ia mendorong kebijakan pro bisnis dan mendukung pencabutan aturan media yang kemudian membuka jalan bagi berkembangnya jaringan berita konservatif dan polarisasi politik yang makin tajam.

Sebagai Menteri Pertahanan di era George H. W. Bush ia ikut menentukan langkah Amerika dalam Perang Teluk. Di sisi keluarga Cheney dan Lynne berusaha memahami dan menerima Mary yang menunjukkan identitas seksualnya dengan jujur. Meski sempat mempertimbangkan pencalonan presiden, Cheney memilih mundur dari panggung besar politik demi melindungi Mary dari sorotan publik.

Pilihan itu membawa hidupnya ke persimpangan baru yang kelak mengubah wajah negara. Setelah sekian lama melihat kekuasaan dari dekat, apa yang akan terjadi ketika Cheney diberi kesempatan untuk memegang kendali yang jauh lebih besar?

Penulis artikel: Abdilla Monica Permata B.