7 Film Remake Indonesia, dari 'PENGABDI SETAN' hingga 'CATATAN SI BOY' - Tak Selalu Mampu Mengulang Kesuksesan yang Sama
Film Remake Indonesia (Credit: IMDB)
Kapanlagi.com - Ragam film Indonesia semakin banyak dan tak terbatas pada genre saja. Selain adaptasi novel, film 'remake' juga turut mewarnai bioskop tanah air. Mulai dari PENGABDI SETAN hingga CATATAN SI BOY. Yang menarik, film-film remake ada yang mampu mencatatkan pencapaian gemilang, namun ada juga yang gagal di pasaran. Intip selengkapnya yuk!
Advertisement
1. PENGABDI SETAN
Film PENGABDI SETAN versi 1980 dan versi 2017 merupakan dua karya horor Indonesia yang memiliki benang merah cerita serupa namun pendekatan yang sangat berbeda. Versi 1980 disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra dan mengisahkan tentang sebuah keluarga kaya yang jauh dari nilai-nilai agama.
Setelah ibu mereka meninggal, keluarga tersebut mulai mengalami teror dari makhluk gaib akibat keterlibatan sang ibu dalam ilmu hitam. Cerita ini menekankan pentingnya kembali ke ajaran agama sebagai perlindungan dari kekuatan jahat.
Sementara itu, PENGABDI SETAN versi 2017 yang disutradarai oleh Joko Anwar adalah reimaginasi dari film aslinya dengan latar waktu tahun 1981. Ceritanya berfokus pada keluarga miskin yang perlahan mengungkap bahwa ibu mereka dulunya adalah anggota sekte pemuja setan. Setelah kematiannya, serangkaian kejadian misterius dan kemunculan sekte sesat mulai menghantui keluarga tersebut.
Dari segi pemain, versi 1980 menampilkan HIM Damsyik, Fachrul Rozy, dan Ruth Pelupessy, sedangkan versi 2017 dibintangi oleh Bront Palarae, Tara Basro, dan Ayu Laksmi.
Perbedaan signifikan juga terlihat pada karakter utama: di versi lama tokoh anak laki-laki menjadi sentral, sedangkan di versi modern digantikan oleh karakter anak perempuan bernama Rini.
Dari sisi pencapaian, PENGABDI SETAN (1980) tidak memiliki data jumlah penonton yang pasti karena keterbatasan sistem dokumentasi pada masa itu, namun film ini dikenal luas sebagai horor legendaris dan menjadi cult classic yang berpengaruh besar terhadap genre horor Indonesia.
Sementara itu, versi 2017 meraih sukses besar secara komersial dengan lebih dari 4,2 juta penonton di bioskop dan menjadi salah satu film horor terlaris di Indonesia. Film ini juga memperoleh banyak penghargaan, termasuk Pemeran Anak Terbaik, Tata Sinematografi Terbaik, hingga Tata Artistik Terbaik di Festival Film Indonesia 2017, serta mendapat pengakuan di festival-festival film internasional.
Secara keseluruhan, PENGABDI SETAN (1980) adalah pelopor horor lokal dengan nuansa religius kuat dan pendekatan klasik, sedangkan PENGABDI SETAN (2017) adalah kebangkitan genre horor Indonesia dalam bentuk modern, matang secara teknis, dan mendunia dalam pencapaiannya. Keduanya sama-sama berperan penting dalam sejarah perfilman horor Indonesia, namun dengan pendekatan dan dampak yang berbeda sesuai zamannya.
(Di luar nurul, Inara Rusli dilaporkan atas dugaan perselingkuhan dan Perzinaan!)
2. WARKOP DKI
Film-film Warkop DKI di era 1980–1990 merupakan bagian penting dari sejarah komedi Indonesia. Dibintangi oleh trio legendaris Dono, Kasino, dan Indro, film-film ini biasanya mengusung cerita ringan dengan latar kehidupan sehari-hari yang dibumbui dengan komedi slapstick, satir sosial, dan kritik halus terhadap isu-isu masyarakat.
Judul-judul seperti Mana Tahaaan..., Gengsi Dong, Maju Kena Mundur Kena, hingga Setan Kredit menjadi tontonan populer lintas generasi. Cerita dalam film-film tersebut cenderung episodik dan tidak terlalu berfokus pada alur kompleks, melainkan mengandalkan kekuatan karakter, kelucuan situasional, dan chemistry alami ketiganya.
Sebaliknya, WARKOP DKI REBORN, yang mulai tayang sejak 2016 dengan disutradarai oleh Anggy Umbara, adalah sebuah reboot modern dari warisan Warkop DKI. Film ini tidak mengangkat cerita lama secara langsung, melainkan mengadaptasi dan mengemas ulang gaya humor trio Warkop dengan balutan teknologi modern, efek visual, dan latar sinematik yang lebih megah.
Humor yang ditampilkan cenderung lebih visual dan fisikal, ditujukan kepada generasi penonton masa kini. Seri pertamanya mengambil inspirasi dari beberapa film klasik Warkop, tetapi dikembangkan dengan gaya yang lebih kontemporer.
Dari segi pemain, era klasik Warkop DKI menampilkan Dono, Kasino, dan Indro sebagai ikon sejati yang sulit tergantikan. Chemistry mereka sangat kuat dan menjadi kekuatan utama film-film tersebut. Sementara dalam WARKOP DKI REBORN, peran Dono dimainkan oleh Abimana Aryasatya, Kasino oleh Vino G. Bastian, dan Indro oleh Tora Sudiro (dalam dua film pertama).
Menariknya, Indro asli turut terlibat sebagai produser dan pengawas kreatif dalam versi Reborn, menjaga semangat aslinya tetap hidup. Dalam kelanjutannya (WARKOP DKI REBORN 3 dan 4), peran digantikan oleh Aliando Syarief, Adipati Dolken, dan Randy Danistha.
Dari segi jumlah penonton, film-film Warkop DKI klasik tidak memiliki data box office resmi karena pada masa itu belum ada sistem pelaporan penonton yang terstandarisasi. Namun, kepopulerannya bisa dilihat dari banyaknya jumlah film (lebih dari 30 judul dalam satu dekade), seringnya ditayangkan ulang di televisi, serta pengaruh budayanya yang masih terasa hingga kini.
Sebaliknya, WARKOP DKI REBORN: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) mencetak rekor luar biasa dengan 6,8 juta penonton, menjadikannya film Indonesia terlaris sepanjang masa saat itu. Sekuelnya, Part 2 (2017), juga sukses dengan 4 juta penonton. Meskipun dua film selanjutnya tidak sesukses pendahulunya, reboot ini tetap berhasil menghidupkan kembali warisan Warkop bagi generasi baru.
Dalam hal penghargaan, film-film Warkop DKI era lama lebih banyak dicintai masyarakat daripada diakui secara formal dalam ajang penghargaan. Fokusnya adalah hiburan populer, dan mereka jarang masuk nominasi festival film nasional. Sebaliknya, WARKOP DKI REBORN mendapatkan beberapa penghargaan dan nominasi, terutama dalam kategori film komedi dan box office, termasuk dalam ajang Indonesian Box Office Movie Awards (IBOMA) dan Indonesian Choice Awards.
Secara keseluruhan, Warkop DKI era 1980–1990 adalah simbol kejayaan komedi Indonesia dengan pendekatan sederhana dan kuatnya karakter. Sementara itu, WARKOP DKI REBORN berhasil membangkitkan kembali semangat lawak trio legendaris dalam format yang lebih modern dan sinematik, dengan capaian penonton dan produksi yang spektakuler.
3. BADAI PASTI BERLALU
Film BADAI PASTI BERLALU merupakan salah satu karya ikonik dalam perfilman Indonesia yang telah diadaptasi dua kali ke layar lebar: pertama pada tahun 1977 oleh Teguh Karya, dan kemudian pada tahun 2007 oleh Teddy Soeriaatmadja. Meskipun kedua versi mengangkat inti cerita yang sama, yaitu kisah cinta segitiga yang penuh luka dan pengkhianatan, pendekatan penceritaan, gaya visual, hingga konteks sosialnya sangat berbeda.
Versi 1977 mengisahkan Siska, seorang perempuan muda yang patah hati dan kemudian dijodohkan oleh ibunya dengan pria bernama Helmi. Di tengah hubungan yang tidak sehat dengan Helmi, Siska justru bertemu dengan Leo, seorang pria lembut yang tulus mencintainya. Konflik emosional yang dalam serta nuansa sosial khas Jakarta era 70-an menjadi kekuatan cerita versi ini.
Sementara itu, versi 2007 menceritakan ulang kisah yang sama dalam konteks yang lebih modern, dengan penyesuaian terhadap gaya hidup dan relasi anak muda masa kini. Meskipun cerita dasarnya tetap setia pada sumber aslinya—novel karya Marga T—film versi baru ini lebih bergaya kontemporer dan lebih eksploratif dalam visual serta pendekatan emosional karakter.
Dari segi pemain, versi 1977 dibintangi oleh Christine Hakim (sebagai Siska), Roy Marten (sebagai Leo), dan Slamet Rahardjo (Sebagai Helmi). Ketiganya merupakan aktor papan atas pada masa itu dan memberikan performa yang sangat kuat, hingga film ini dianggap sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam sinema drama Indonesia.
Sementara pada versi 2007, peran Siska dimainkan oleh Raihaanun, Leo oleh Vino G. Bastian, dan Helmi oleh Winky Wiryawan. Ketiganya merepresentasikan wajah baru perfilman Indonesia dan menyuguhkan interpretasi karakter yang lebih muda dan emosional, sesuai dengan zaman.
Dalam hal pencapaian, BADAI PASTI BERLALU versi 1977 mencetak prestasi besar secara kritis. Film ini meraih 4 Piala Citra di Festival Film Indonesia 1978 yakni pada kategori Sinematografi Terbaik (Lukman Hakim Nain), Penyunting Gambar Terbaik (Tantra Surjadi), Tata Suara Terbaik (Suparman Sidik), dan Tata Musik Terbaik (Erros Djarot). Sebaliknya, versi 2007 tidak mencatat rekor penonton yang menonjol yakni di angka 117.982 saja.
4. GITA CINTA DARI SMA
Film GITA CINTA DARI SMA merupakan salah satu kisah cinta remaja paling ikonik di Indonesia yang telah diangkat ke layar lebar dua kali, yakni pada tahun 1979 dan 2023. Kedua versi mengisahkan cinta anak SMA yang tulus namun terhalang restu orangtua, tetapi masing-masing hadir dengan pendekatan, gaya penceritaan, dan konteks zamannya yang berbeda.
Versi 1979 disutradarai oleh Arizal dan diadaptasi dari novel karya Eddy D. Iskandar. Cerita berpusat pada kisah cinta antara Galih, siswa berprestasi yang kalem, dan Ratna, siswi cantik dan cerdas dari keluarga terpandang. Hubungan mereka mendapat tentangan dari ayah Ratna yang otoriter. Film ini menggambarkan konflik klasik antara cinta dan restu orang tua, dibalut dengan suasana sekolah menengah dan nuansa remaja pada era 70-an yang sederhana dan romantis.
Sebaliknya, versi 2023 disutradarai oleh Monty Tiwa, dan masih setia pada cerita aslinya, tetapi dengan penyesuaian visual, dialog, dan dinamika hubungan remaja masa kini. Versi terbaru ini memperkaya narasi dengan elemen nostalgia sambil tetap menyasar generasi muda modern.
Dari segi pemain, versi 1979 dibintangi oleh Rano Karno sebagai Galih dan Yessi Gusman sebagai Ratna. Chemistry mereka sangat kuat dan menjadi ikon pasangan remaja era itu, bahkan melahirkan fenomena pop budaya tersendiri. Lagu Galih dan Ratna ciptaan Guruh Soekarnoputra yang menjadi soundtrack film turut abadi dalam ingatan publik.
Sementara itu, versi 2023 menampilkan Yesaya Abraham sebagai Galih dan Prilly Latuconsina sebagai Ratna. Prilly, yang juga menjadi produser, memberi warna baru pada karakter Ratna dengan lebih tegas dan ekspresif. Versi ini juga menampilkan beberapa aktor senior seperti Dwi Sasono dan Unique Priscilla, serta membawa kembali Rano Karno sebagai bentuk penghormatan terhadap versi aslinya.
Dari segi pencapaian, versi 1979 menjadi film remaja tersukses pada masanya, ditonton oleh jutaan orang di era sebelum sistem box office tercatat resmi. Film ini juga mendapatkan penghargaan dan pujian luas karena berhasil mengangkat tema cinta remaja dengan puitis dan menyentuh. Lagu temanya sendiri menjadi bagian penting dari sejarah musik pop Indonesia.
Versi 2023 berhasil menarik perhatian, terutama karena faktor nostalgia dan kehadiran Prilly Latuconsina sebagai bintang besar. Film ini ditonton oleh lebih dari 700 ribu penonton di bioskop dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Meski tak menyamai dampak kultural versi original, film ini tetap mendapat apresiasi karena produksi yang rapi dan upaya membangkitkan kembali kisah klasik ini.
5. Film-Film Suzanna dan SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR
Film-film horor yang dibintangi Suzanna pada era 1970–1980-an menjadi tonggak penting dalam sejarah sinema horor Indonesia. Ia dikenal sebagai “Ratu Horor Indonesia” berkat perannya dalam berbagai film mistis dan supranatural seperti Beranak dalam Kubur (1971), Sundel Bolong (1981), Malam Satu Suro (1988), Nyi Blorong (1981), dan banyak lagi.
Film-film tersebut identik dengan cerita yang kental akan unsur mistik Jawa, balas dendam dari dunia gaib, dan tokoh perempuan korban ketidakadilan yang kemudian bangkit dari kubur. Cerita-ceritanya cenderung lugas, dengan penggunaan efek praktikal, atmosfer mencekam, serta nilai-nilai kultural dan spiritual yang khas Indonesia.
Sementara itu, film SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018) merupakan proyek tribute modern yang disutradarai oleh Rocky Soraya dan Anggy Umbara. Film ini mencoba menangkap kembali esensi film-film horor klasik Suzanna sambil membalutnya dengan produksi dan teknik sinematik kontemporer.
Ceritanya berkisah tentang Suzzanna, seorang wanita hamil yang dibunuh oleh sekelompok pria yang ingin mencuri hartanya. Ia kemudian bangkit dari kematian untuk membalas dendam. Alur ini sangat mirip dengan gaya horor Suzanna zaman dulu, tetapi dikemas dengan efek visual lebih modern dan narasi yang lebih rapi secara sinematik.
Dari segi pemain, era 70–80-an tentu didominasi oleh Suzanna sendiri, yang dengan ciri khas wajah pucat, tatapan tajam, dan gaya jalan menyeramkan menciptakan karakter horor yang sulit tergantikan. Ia sering bermain bersama aktor-aktor seperti Barry Prima, Clift Sangra, dan Dorman Borisman.
Dalam versi 2018, peran Suzanna diperankan oleh Luna Maya, yang melalui prostetik dan riasan wajah dibuat sangat menyerupai sang aktris legendaris. Penampilan Luna Maya di film ini menuai banyak pujian karena berhasil membangkitkan kembali sosok Suzanna secara meyakinkan di layar lebar.
Secara komersial, film-film Suzanna di masa lalu sangat populer di bioskop-bioskop pada masanya, meski belum ada sistem pencatatan box office nasional yang ketat. Film-filmnya sering diputar berulang kali dan menjadi hiburan favorit masyarakat di era sebelum televisi swasta berkembang.
Sedangkan SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018) berhasil meraih lebih dari 3,3 juta penonton, menjadikannya salah satu film horor Indonesia terlaris pada tahun tersebut. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa daya tarik Suzanna masih sangat kuat bahkan puluhan tahun setelah masa kejayaannya.
Dari sisi penghargaan, film-film Suzanna klasik lebih banyak mendapat pengakuan dalam bentuk status ikonik dan budaya pop, meskipun tidak terlalu dominan di ajang penghargaan resmi. Film SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018), di sisi lain, memenangkan penghargaan dalam Festival Film Bandung, Indonesian Movie Actors Awards, hingga Piala Maya.
6. CATATAN SI BOY
CATATAN SI BOY adalah salah satu ikon film remaja Indonesia yang populer lintas generasi. Film versi asli yang dirilis pada tahun 1987 dan versi daur ulang yang muncul pada 2023 menampilkan karakter yang sama — Boy, pemuda tampan dari keluarga kaya — namun keduanya memiliki pendekatan berbeda dalam hal cerita, pemilihan pemain, gaya visual, hingga pencapaian komersial dan penghargaan.
Versi 1987, disutradarai oleh Nasri Cheppy, adalah adaptasi dari sandiwara radio legendaris dan menjadi film box office pada masanya. Cerita berpusat pada Boy, pemuda idealis, sopan, dan berkarisma dari keluarga berada yang menjalani lika-liku percintaan dan persahabatan, khususnya dengan tokoh Nuke, Emon, dan Andi.
Film ini menekankan pada konflik emosional khas remaja era 80-an, dengan latar gaya hidup urban Jakarta dan sentuhan moral tentang kesetiaan dan tanggung jawab. Versi ini menghadirkan drama yang tenang, karakter yang kuat, dan menjadi simbol gaya hidup remaja mapan saat itu.
Sementara itu, CATATAN SI BOY (2023) disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan mencoba mereinterpretasi karakter Boy untuk generasi Gen Z. Cerita masih berputar pada kisah cinta dan dinamika keluarga Boy, namun dikemas dengan ritme lebih cepat, nuansa lebih glamor, dan visual yang lebih modern. Latar ceritanya diperluas dengan elemen sosial media, pergaulan digital, dan dinamika emosional yang lebih eksplisit. Meskipun tetap mempertahankan inti karakter, versi ini menonjolkan drama keluarga yang lebih kompleks dan tema identitas yang lebih personal.
Dari segi pemain, versi 1987 menampilkan Didi Petet sebagai Emon dan Onky Alexander sebagai Boy — duo yang ikonik dan tak tergantikan dalam memori penggemar film Indonesia. Chemistry mereka, terutama Emon sebagai sahabat Boy yang flamboyan dan jenaka, menjadi kekuatan utama film ini.
Sedangkan versi 2023 menampilkan Angga Yunanda sebagai Boy, yang membawa pesona baru dengan gaya akting modern. Peran Emon dimainkan oleh Elmandsipasi, memberikan interpretasi yang lebih lembut namun tetap mempertahankan sisi eksentrik karakter tersebut. Pemain lain seperti Alyssa Daguise dan Syifa Hadju mengisi peran-peran penting, menambah daya tarik film bagi penonton muda.
Dalam hal perolehan jumlah penonton, versi 1987 menjadi salah satu film remaja tersukses era 80-an, meskipun data penonton tidak tercatat secara resmi seperti sekarang. Film ini memicu sekuel hingga lima seri dan melahirkan ikon budaya pop.
Sebaliknya, CATATAN SI BOY (2023) meraih sekitar 300 ribu penonton, angka yang cukup moderat untuk film daur ulang, namun tidak tergolong hits besar secara box office di era sekarang.
Dari segi penghargaan, film 1987 lebih banyak mendapatkan pengakuan kultural dan menjadi bagian penting dalam sejarah film remaja Indonesia. Meskipun tidak mendominasi festival film, warisannya sangat kuat dan bertahan hingga kini. Versi 2023 belum mencatat pencapaian signifikan dalam ajang penghargaan film nasional.
7. TIGA DARA dan INI KISAH 3 DARA
Film TIGA DARA (1957) dan INI KISAH TIGA DARA (2016) sama-sama mengangkat tema perempuan dan dinamika keluarga, namun berasal dari dua zaman dan pendekatan sinematik yang sangat berbeda. Keduanya berakar pada semangat perempuan dalam menghadapi cinta, keluarga, dan harapan sosial, namun dikemas dengan gaya yang sesuai dengan konteks zamannya masing-masing.
TIGA DARA (1957) adalah film musikal legendaris yang disutradarai oleh Usmar Ismail, salah satu pelopor perfilman Indonesia. Film ini berkisah tentang tiga kakak beradik perempuan — Nunung, Nenny, dan Nana — yang tinggal bersama ayah dan nenek mereka.
Fokus cerita berada pada Nunung, si sulung yang ditekan untuk segera menikah, padahal ia belum menemukan cinta sejatinya. Ceritanya ringan, hangat, dan penuh nyanyian yang menggambarkan kegelisahan perempuan muda masa itu dalam bingkai keluarga yang tradisional.
Pemeran utamanya adalah Chitra Dewi (Nunung), Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak, yang kemudian menjadi ikon perfilman klasik Indonesia. Film ini mendapat sambutan sangat baik dan sempat diputar di berbagai festival internasional, bahkan direstorasi pada 2015 untuk ditayangkan ulang dengan kualitas visual yang lebih baik.
INI KISAH TIGA DARA (2016), disutradarai oleh Nia Dinata, adalah reinterpretasi modern dengan semangat feminis dan visual yang lebih kontemporer. Ceritanya mengikuti tiga saudari — Gendis, Ella, dan Bebe — yang tinggal di Maumere, Nusa Tenggara Timur, bersama nenek mereka setelah sang ibu meninggal.
Ketiganya menghadapi tekanan berbeda terkait cinta, identitas diri, dan harapan keluarga, dengan fokus utama pada Gendis yang merasa tak nyaman dengan desakan untuk segera menikah.
Film ini tetap mempertahankan nuansa musikal, namun dengan lagu-lagu baru yang lebih segar dan kental nuansa Indonesia Timur. Pemeran utamanya adalah Shanty, Tara Basro, dan Tatyana Akman, didukung Titiek Puspa sebagai sang nenek.
Dari segi cerita, TIGA DARA (1957) adalah kritik halus terhadap tekanan sosial terhadap perempuan dalam masyarakat patriarkis, dibalut dalam komedi dan musikal yang manis. INI KISAH TIGA DARA (2016) membawa semangat yang sama, namun dengan pendekatan lebih terbuka terhadap emosi, konflik internal, dan representasi perempuan yang lebih beragam — termasuk tokoh dengan orientasi seksual berbeda dan dinamika cinta yang lebih kompleks.
Dalam hal perolehan penonton, TIGA DARA (1957) adalah salah satu film paling populer di masanya, meskipun tidak ada data resmi jumlah penonton seperti sekarang. Ia menjadi fenomena budaya dan sering diputar di berbagai bioskop di Indonesia pada era itu. INI KISAH TIGA DARA (2016) meraih penonton sekitar 125 ribu orang, bukan angka besar, namun cukup untuk film musikal dengan pasar yang relatif terbatas.
(Di tengah kondisi kesehatan yang jadi sorotan, Fahmi Bo resmi nikah lagi dengan mantan istrinya.)
Berita Foto
(kpl/tdr)
Advertisement
