Bangkitnya Perfilman Indonesia
Kapanlagi.com - Sudah saatnya perfilman Indonesia menjadi tuannya di negeri sendiri. Pengharapan ini tak lepas dari meningkatnya kuantitas peserta Festival Film Indonesia (FFI) 2005.
Hal ini terungkap dalam sidang Panitia Pemilihan Komite Seleksi Festival Film Indonesia (FFI) 2005, Senin siang (24/10) di Gedung Film, Jakarta.
Sidang yang dipimpin oleh George Kamarullah menghasilkan dua kategori penyeleksian film. Film cerita bioskop dan film cerita televisi.
Dalam pembukaan sidang George mengungkapkan bahwa kriteria penilaian dari film yang masuk sudah sesuai dengan standar perfilman dan hasilnya sangat dirahasiakan sampai pada pengumunan nanti hal ini untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
Advertisement
Ini dimaksudkan agar jangan sampai masyarakat kembali apriori terhadap perfilman nasional. Namun terdapat beberapa catatan menarik dibalik peningkatan jumlah film yang ada. Baik film cerita bioskop maupun film cerita televisi.
Untuk film cerita bioskop tercatat 27 film yang mayoritas dibuat dalam format video digital sebelum dikonversikan ke pita seluloid.
Jumlah tersebut memperlihatkan peningkatan kuantitas yang sangat menggembirakan. Sebagai perbandingan, dalam FFI 2004, yang diikuti film-film nasional produksi lima tahun sekaligus (2004-2005), yang terdapat 35 film. Tetapi, peningkatan kualitas itu tidak disertai dengan peningkatan kualitas.
"Tahun ini tidak ada satupun film yang benar-benar utuh, dalam pengertian memiliki kualitas teknik dan tematik yang komprehensif atau sama baiknya, serta saling menunjang sedemikian rupa hingga membuatnya jadi sebuah tontonan yang sempurana, menghibur sekaligus mencerahkan. Dalam bahasa lebih populer, tidak ada film yang memiliki keunggulan komplet, baik dalam isi maupun kemasannya,” ungkap Nano Riantiarno, ketua Penilai Komite Seleksi Film Cerita Bioskop FFI 2005.
Dalam FFI 2005 ini terdapat film yang isinya bagus dan sangat Indonesia dengan cerita menarik dan actual, scenario cerdas, orisinil, dengan sense of humor yang tinggi. Namun kemasannya atau unsur-unsur teknis sinematografi yang membungkusnya tidak sebanding. Sangat lemah, bahkan terkesan ketinggalan zaman.
Sementara hampir semua film peserta FFI 2005 emperlihatkan kualitas yang sebaliknya, kuat secara sinematografis, namun lemah dalam tema dan cerita.
Film-film tersebut sebagian bahkan dibesut oleh para sutradara muda yang baru pertama kali membuat film cerita bioskop. Patut mendapat pujian khusus karena umumnya memiliki pencapaian teknis sinematografi yang istimewa.
Semua unsur rata-rata bagus, terencana dan tergarap baik dalam standar cukup tinggi. Cara penyampaian cerita juga sering tidak lazim, kreatif, dinamis, tidak harus selalu kronologis seperti pakem standar.
"Sebagai hasil craftmanship, film-film itu sudah beres sebagai film, dengan hasil akhir yang menarik,” puji Nano. Kualitas itu membuktikan bahwa sutradara dan segenap pekerja dibalik film-film tersebut bukan hanya fasih dan terampil, tetapi juga tampak mempunyai visi, ekspresi dan konsep sinematografis yang kuat.
"Mereka sangat menguasai seni dan teknologi perfilman sebagai medium atau alat."
Namun temanya kebanyakan stereotip, yaitu kisah cinta pasangan muda atau arwah yang marah lalu membalas dendam (film horror). Dan problematika yang diangkat terkesan mengada-ada, tidak realistik dan tidak membumi. Sama sekali tidak mencermikan atau mewakili persoalan manusia dan kehidupan kontemporer yang berlangsung di sekitar kita. Belum lagi, skenario yang cenderung verbal.
Mengenai hal tersebut, Noorca M. Massardi, sekretaris Komite Seleksi Film Cerita Bioskop berkomentar: "Fakta tersebut menunjukan wawasan dan referensi yang dimiliki para penulis dan sutradara film-film tersebut masih dominant berasal dari luar Indonesia. Termasuk pola pengadegan, sudut pengambilan gambar, bahkan framing-nya. Menjadikan film-film tersebut seolah-olah dibuat orang “asing” yang tidak mengerti kehidupan dan tidak mengenal masyarakatnya sendiri."
Sementara untuk film televisi ada beberapa catatan khusus yang perlu untuk diperhatikan. Bahwa film 'Religius’, baik seri ataupun lepas, sebagian besar sebenarnya berisi cerita mistik/kekerasan/drama biasa, yang dibungkus dengan ungkapan agama. Ditambah dengan penggarapan cerita dan pengadegan yang tidak logis, tidak filmis. Logika cerita dangkal. Sebab akibat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya film menjadi murahan.
Kemungkinan hal tersebut dipengaruhi oleh batas waktu penggarapan film yang kurang. Karena tuntutan deadline dari pihak produser, ungkap Nizar Zulmy, wakil dari komite seleksi film televisi. (kl/ww)
Lihat Foto: Sidang Panitia FFI 2005
(Setelah 8 tahun menikah, Raisa dan Hamish Daud resmi cerai.)
()
Advertisement
-
Teen - Fashion Kasual Celana Jeans Ala Anak Skena: Pilihan Straight sampai Baggy yang Wajib Dicoba
-
Teen - Lifestyle Gadget Smartwatch Kece Buat Gen Z yang Stylish, Fungsional, dan Nggak Bikin Kantong Kaget
