Dua Garis Biru menghadirkan kisah coming of age yang dekat dengan realitas remaja Indonesia, dibintangi oleh Angga Yunanda dan Zara JKT48, bersama Cut Mini, Widyawati, Dwi Sasono, Lulu Tobing, dan Rachel Amanda. Film ini membuka cerita tentang Dara dan Bima, dua siswa SMA yang masih duduk di bangku putih abu-abu dan menjalani hari-hari dengan kepolosan khas usia remaja. Hubungan mereka terlihat sederhana dan manis, hingga suatu keputusan impulsif membawa keduanya melangkah melewati batas yang belum sepenuhnya mereka pahami.

Dara dan Bima melakukan kesalahan besar tanpa benar-benar mengerti konsekuensi yang akan mengikuti. Awalnya, semua terasa seperti rahasia kecil yang bisa disimpan berdua. Namun kenyataan berkata lain ketika Dara menyadari ada perubahan besar dalam hidupnya. Dua garis biru pada alat tes kehamilan menjadi titik balik yang mengubah segalanya. Pada momen inilah kepolosan mereka diuji, bukan hanya sebagai pasangan remaja, tetapi sebagai individu yang harus belajar bertanggung jawab.

Masalah semakin kompleks saat keluarga mengetahui kondisi tersebut. Dara yang dikenal sebagai siswi berprestasi harus menghadapi kekecewaan orang tua yang selama ini menaruh harapan besar padanya. Di sisi lain, Bima yang tumbuh dalam keluarga sederhana dipaksa untuk berpikir lebih dewasa dari usianya. Kita melihat benturan dua latar belakang keluarga yang berbeda, dengan cara pandang, emosi, dan nilai yang juga tidak sama. Semua pihak sama-sama terluka, marah, takut, sekaligus bingung menghadapi situasi yang datang terlalu cepat.

Dua Garis Biru tidak hanya berfokus pada kisah cinta remaja, tetapi juga menggambarkan bagaimana sebuah keputusan bisa berdampak luas pada banyak orang. Dara dan Bima mencoba mengambil tanggung jawab atas pilihan mereka. Mereka merasa siap untuk dewasa, siap menanggung konsekuensi, dan siap membuktikan bahwa mereka bisa menghadapi semuanya bersama.

Namun realita berbicara lebih keras. Menjadi dewasa ternyata bukan sekadar niat baik, melainkan proses panjang yang penuh pengorbanan, ego yang harus ditekan, dan mimpi yang mungkin harus ditunda. Perjalanan yang mereka jalani bukan tentang mencari siapa yang paling bersalah, melainkan bagaimana setiap karakter belajar menerima keadaan.