Nama Asli Sunan Gunung Jati: Syarif Hidayatullah, Sang Penyebar Islam di Jawa Barat
Diterbitkan:
nama asli sunan gunung jati
Kapanlagi.com - Sunan Gunung Jati merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, seorang ulama sekaligus pemimpin politik yang berhasil mendirikan Kesultanan Cirebon dan Banten.
Sosok yang juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti Fatahillah, Syekh Nuruddin Ibrahim, dan Maulana Syekh Makhdum Rahmatullah ini lahir pada tahun 1448 di Pasai. Beliau merupakan keturunan bangsawan yang memiliki silsilah mulia, dengan ayah bernama Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alim dan ibu bernama Nyai Rara Santang, putri Prabu Siliwangi.
Melansir dari Ensiklopedia Budaya Islam Nusantara yang diterbitkan Kementerian Agama, tradisi ruwahan di Cirebon sudah berlangsung sejak Islam disiarkan oleh Sunan Gunung Jati ke wilayah tersebut. Keraton Kasepuhan yang didirikan oleh nama asli Sunan Gunung Jati yaitu Syarif Hidayatullah, menjadi pusat penyebaran ajaran Islam yang disesuaikan dengan hari-hari besar Islam.
Advertisement
1. Asal Usul dan Silsilah Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati memiliki latar belakang keluarga yang sangat mulia. Beliau lahir dari pernikahan antara Syarif Abdullah, seorang ulama besar keturunan Arab, dengan Nyai Rara Santang yang merupakan putri dari Prabu Siliwangi, penguasa Kerajaan Pajajaran.
Silsilah keturunan Syarif Hidayatullah dapat ditelusuri hingga ke Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah. Mengutip dari Ensiklopedia Karya Ulama Nusantara, dalam silsilah nasab Syekhona Kholil yang juga memiliki hubungan keturunan dengan para wali, disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) merupakan bagian dari garis keturunan yang mulia ini.
Perpaduan darah Arab dan Sunda dalam diri Syarif Hidayatullah memberikan keunikan tersendiri dalam pendekatan dakwahnya. Hal ini memungkinkan beliau untuk memahami budaya lokal sekaligus memiliki legitimasi keagamaan yang kuat dari silsilah keturunannya.
Nama "Gunung Jati" sendiri diambil dari tempat beliau berdakwah, yaitu di Giri Amparan Jati atau yang lebih dikenal dengan Gunung Jati, sebuah bukit kecil yang berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah utara Kota Cirebon. Di tempat inilah beliau membangun pusat dakwah dan kemudian dimakamkan setelah wafat pada tahun 1568.
2. Perjalanan Menuntut Ilmu dan Pembentukan Karakter
Sebelum menjadi tokoh besar dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, Syarif Hidayatullah menempuh perjalanan panjang dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1520, beliau berangkat ke Makkah dengan menumpang kapal niaga yang mengangkut rempah-rempah dari Sumatera ke Laut Merah.
Di Tanah Suci, Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Qurtubi selama beberapa tahun. Tidak puas dengan ilmu yang diperoleh di Makkah, beliau melanjutkan perjalanan ke berbagai pusat keilmuan Islam, termasuk Tunisia, Baghdad, Iran, Irak, dan Mesir.
Saat berada di Mesir, beliau belajar kepada Syekh Muhammad Ataillah al-Syadzli, seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Di sana, Syarif Hidayatullah mempelajari tasawuf tarekat Syadziliyah yang kemudian mempengaruhi metode dakwahnya di Nusantara.
Atas perintah gurunya di Mesir, Syarif Hidayatullah diminta untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di Pesantren Ampeldenta yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Sunan Ampel melihat potensi besar dalam diri Syarif Hidayatullah untuk membangun kekuatan kerajaan Islam, sehingga memberikan nasihat untuk mengembangkan Cirebon menjadi kerajaan besar dan berpengaruh.
3. Strategi Dakwah dan Pendekatan Politik
Syarif Hidayatullah dikenal sebagai seorang politikus ulung yang menggunakan pendekatan politik dalam menyebarkan Islam. Berbeda dengan beberapa wali lainnya yang lebih fokus pada pendekatan kultural atau sosial, beliau memilih jalur politik sebagai strategi utama dakwahnya.
Ketika kembali ke Cirebon, Syarif Hidayatullah disambut oleh Pangeran Cakrabuana. Meskipun ditawari untuk tinggal di istana Pakungwati, beliau memilih tinggal di pesantren Gunung Jati dan meneruskan kegiatan dakwah yang telah dirintis oleh Datuk Kahfi.
Pangeran Cakrabuana kemudian memberikan gelar Syekh Maulana Jati kepada Syarif Hidayatullah dan memintanya untuk berdakwah di seluruh wilayah Pajajaran. Setelah meninggalnya Pangeran Cakrabuana, kepemimpinan Kerajaan Cirebon diserahkan kepada Syarif Hidayatullah.
Sebagai pemimpin kerajaan sekaligus ulama, Syarif Hidayatullah berhasil mengubah Cirebon menjadi pusat industri niaga terbesar di Pulau Jawa pada masanya. Beliau menerapkan ajaran Islam dalam setiap transaksi ekonomi, termasuk jual beli, sewa menyewa, dan bagi hasil dengan menggunakan akad-akad Islam.
Mengutip dari Melacak Transmisi Keilmuan Pesantren, Islamisasi Sunan Gunung Jati di Jawa Barat menjadi cikal bakal awal tersebarnya agama Islam dari Cirebon ke wilayah lainnya di Jawa Barat bahkan Nusantara, melalui generasi penerusnya baik dari keluarga trah Sunan Gunung Jati maupun murid-muridnya.
4. Warisan dan Pengaruh Berkelanjutan
Pengaruh Syarif Hidayatullah tidak berhenti pada masa hidupnya. Beliau berhasil mendirikan dua kesultanan besar, yaitu Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten melalui putranya Sultan Maulana Hasanudin. Kedua kesultanan ini menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat dan wilayah sekitarnya.
Dalam bidang pendidikan, Syarif Hidayatullah juga membuka sistem pendidikan Islam model pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel di Surabaya. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Sunan Kalijaga, yang kemudian menjadi salah satu anggota Wali Songo.
Tradisi keilmuan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah terus berlanjut melalui keturunan dan murid-muridnya. Banyak pesantren di Jawa Barat yang memiliki hubungan silsilah dengan beliau, baik melalui hubungan darah maupun hubungan guru-murid.
Melansir dari Melacak Transmisi Keilmuan Pesantren, Kiai Jatira dari Pesantren Babakan Ciwaringin dan Kiai Muqoyyim dari Pesantren Buntet merupakan kerabat istana yang memiliki hubungan nasab dengan Keraton Cirebon, yang secara tidak langsung tersambung dengan Syarif Hidayatullah.
5. Metode Dakwah Kultural dan Toleransi
Meskipun menggunakan pendekatan politik, Syarif Hidayatullah juga menerapkan metode dakwah kultural yang menghormati budaya lokal. Beliau membangun masjid dengan arsitektur yang memadukan unsur Islam dengan budaya Jawa, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi setempat.
Dalam menyebarkan Islam, Syarif Hidayatullah menggunakan kesenian tradisional seperti wayang dan gamelan. Beliau juga menciptakan tembang-tembang yang berisi nasihat agama yang dikutip dari hadits dan Al-Qur'an, sehingga masyarakat lebih mudah memahami ajaran Islam.
Toleransi yang tinggi terhadap agama lain menjadi ciri khas dakwah Syarif Hidayatullah. Beliau menghargai perbedaan ajaran dan hukum yang dianut oleh agama Hindu-Buddha, bahkan tidak menyembelih dan memakan daging sapi karena menghormati kepercayaan Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci.
Strategi dakwah yang dimulai dari ruang lingkup kecil kemudian meluas secara bertahap juga menjadi keunggulan metode Syarif Hidayatullah. Beliau memulai dakwah di Cirebon, kemudian meluas ke Dukuh Babadan, dan akhirnya menyebar hingga ke Banten dan Priangan.
6. Kontribusi dalam Bidang Ekonomi dan Sosial
Sebagai pemimpin yang visioner, Syarif Hidayatullah tidak hanya fokus pada aspek keagamaan, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam bidang ekonomi dan sosial. Beliau mengubah sistem dan struktur pemerintahan dengan dasar syariat Islam, menciptakan tata kelola yang lebih adil dan transparan.
Dalam bidang ekonomi, Syarif Hidayatullah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam berbagai transaksi. Sistem mudharabah dan musharakah diperkenalkan sebagai alternatif sistem ekonomi yang lebih berkeadilan. Hal ini membuat Cirebon berkembang menjadi pusat perdagangan yang maju dan makmur.
Beliau juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan masyarakat, tidak hanya dalam bidang agama tetapi juga ilmu pengetahuan umum seperti ekonomi, kesehatan, sosial, dan keluarga. Pendekatan holistik ini membuat dakwah Syarif Hidayatullah diterima dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat.
Seiring dengan berkembangnya Cirebon sebagai pusat niaga, banyak pendatang dan pedagang dari berbagai daerah yang datang. Hal ini mempercepat penyebaran ajaran Islam hingga ke luar Pulau Jawa, menjadikan Cirebon sebagai gerbang penyebaran Islam di wilayah barat Nusantara.
7. FAQ (Frequently Asked Questions)
Apa nama asli Sunan Gunung Jati?
Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Beliau juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti Fatahillah, Syekh Nuruddin Ibrahim bin Maulana Ismail, Said Kamil, dan Maulana Syekh Makhdum Rahmatullah.
Kapan dan di mana Syarif Hidayatullah lahir?
Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448 di Pasai. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alim, seorang ulama besar, sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Mengapa beliau disebut Sunan Gunung Jati?
Nama "Gunung Jati" diambil dari tempat beliau berdakwah, yaitu di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati, sebuah bukit kecil yang berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah utara Kota Cirebon. Di tempat inilah beliau membangun pusat dakwah dan akhirnya dimakamkan.
Apa saja kerajaan yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah?
Syarif Hidayatullah berhasil mendirikan Kesultanan Cirebon dan menjadi pendiri dinasti Kesultanan Banten melalui putranya Sultan Maulana Hasanudin. Kedua kesultanan ini menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Bagaimana strategi dakwah yang digunakan Syarif Hidayatullah?
Syarif Hidayatullah menggunakan pendekatan politik sebagai strategi utama dakwahnya, dikombinasikan dengan metode kultural yang menghormati budaya lokal. Beliau juga menggunakan kesenian tradisional dan menerapkan toleransi tinggi terhadap agama lain.
Siapa saja guru-guru Syarif Hidayatullah?
Syarif Hidayatullah berguru kepada berbagai ulama besar, antara lain Syekh Tajudin al-Qurtubi di Makkah, Syekh Muhammad Ataillah al-Syadzli di Mesir, Syekh Maulana Ishaq di Pasai, dan Sunan Ampel di Pesantren Ampeldenta.
Kapan Syarif Hidayatullah wafat dan di mana beliau dimakamkan?
Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568 di Cirebon pada usia sekitar 80 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung Jati, Desa Astana, Cirebon, Jawa Barat, yang hingga kini menjadi tempat ziarah bagi banyak orang.
(kpl/ygt)
Yoga Tri Priyanto
Advertisement
-
Teen - Lifestyle Gadget Deretan Aksesori yang Bikin Gadget Gen Z Makin Ciamik, Wajib Punya Nih!